Kamis, 19 Januari 2012

thumbnail

HADIST TARBAWI EVALUASI PENDIDIKAN

-->
PENDAHULUAN
Evaluasi sangat dibutuhkan dalam berbagai kegiatan kehidupan manusia sehari-hari, karena disadari atau tidak, sebenarnya evaluasi sudah sering dilakukan, baik untuk diri sendiri maupun kegiatan social lainnya.Hal ini dapat dilihat mulai dari berpakaian, setelah ia berpakaian ia berdiri dihadapan kaca apakah penampilannya sudah wajar atau belum.
Dalam pendidikan islam evaluasi merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan islam yang harus dilakukan secara sistematis dan terencana sebagai alat untuk mengukur keberhasilan atau target yang akan dicapai dalam proses pendidikan islam dan proses pembelajaran.
Pembelajaran adalah kegiatan yang disengaja (sadar) oleh peserta didik dengan arahan, bimbingan atau bantuan dari pendidik untuk memperoleh suatu perubahan. Perubahan yang diharapkan meliputi : aspek kognitif (pengetahuan) afektif (sikap dan tingkah laku), dan psikomotorik (gerakan ragawi/ keterampila). Untuk mengetahui sejauh mana tujuan pembelajaran atau kompetensi yang diharapkan tercapai oleh peserta didik diperoleh melalui evaluasi[1].  
Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa inggris evaluation-value; dalam bahasa arab: al-Taqdir (تقدىر -ال); dalam bahasa indonesia berarti penilaian. Akar katanya Value; dalam bahasa arab: al-Qimah (قيمه -ال); dalam bahasa indonesia berarti; nilai. Dengan demikian secara harfiah, evaluasi pendidikan (educational evaluation= al-Taqdir Tarbawiy= ال- تقدير تربؤي ) dapat diartikan sebagai: penilaian dalam (bidang) pendidikan atau penilaian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan[2].
Bebicara tentang evaluasi pendidikan, di tanah air kita, lembaga administrasi negara mengemukakan batasan mengenai evaluasi pendidikan sebagai berikut:

Evaluasi pendidikan adalah:
1.     proses atau kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan;
2.     usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back) bagi penyempurnaan pendidikan[3].
Sasaran evaluasi pendidikan islam secara garis besar meliputi empat kemampuan dasar anak didik, yaitu:
1.     sikap dan pengalaman pribadinya, hubungannya dengan Tuhan;
2.     sikap dan pengalaman dirinya, hubungannya dengan masyarakat;
3.     sikap dan pengalaman kehidupannya, hubungannya dengan alam sekitar;
4.     sikap dan pandangannya terhadap dirinya selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakatnya, serta selaku khalifah di muka bumi.
Keempat kemampuan dasar tersebut dijabarkan dalam klasifikasi kemampuan teknis masing-masing sebagai berikut.
a.     Sejauh mana loyalitas dan kesungguhan untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan dengan indikasi-indikasi lahiriah berupa tingkah laku yang mencerminkan keimanankatakwaan kepada Tuhan. Aspek teknis ini berwujud dalam bentuk tingkah laku yang merujuk kepada keimanan, ketekunan beribadah, kemampuan praktis dalam mengerjakan syari’at islam dan cara menanggapi atau melakukan responsi terhadap permasalahan hidup seperti tawakkal, sabar, dan ketenangan batin serta menahan amarah.
b.     Sejauh mana menerapkan nilai-nilai agamanya dan kegiatan hidup bermasyarakat, seperti berakhlak mulia dalam pergaulan dalam menjalankan norma-norma agama dalam kaitannya dengan orang lain.
c.      Bagaimana ia mengelola dan memelihara serta menyesuaikan dirinya dengan alam sekitar.
d.     Bagaimana dan sejauh mana ia sebagai seorang hamba muslim memandang dirinya sendiri (self-concept) dalam berperan kepada Allah dalam menghadapi kenyataan bermasyarakat.
Sasaran evaluasi tersebut dirumuskan ke dalam item-item pertanyaan atau statemen-statemen yang disajikan kepada manusia didik untuk ditanggapi. Hasil dari tanggapan mereka kemudian dianalisis secara psikologis, karena yang menjadi pokok persoalan evaluasi adalah sikap mental dan pandangan dasar dari mereka sebagai manifestasi dan keimanan dan keislaman serta ilmu pengetahuannya.
Dengan memperhatikan kekhususan  tugas pendidikan islam yang meletakkan faktor pengembangan fitrah anak didik, nilai-nilai agama dijadikan landasan kepribadian anak dididk yang dibentuk melalui proses itu maka idealitas islam yang telah teprbentuk dan menjiwai pribadi anak didik tidak dapat diketahui oleh pendidik muslim, tanpa melalui proses evaluasi[4].
Jenis-jenis evaluasi adalah sebagai berikut:
1.     Penilaian formatif, yaitu penilaian untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik setelah menyelesaikan program.
2.     Penilaian sumatif, yaitu penilaian yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta didik yang telah selesai mengikuti pembelajaran.
3.     Penilaian penempatan, yaitu penilaian tentang pribadi peserta didik untuk kepentingan penempatan didalam situasi belajar yang sesuai dengan kondisi peserta didik.
4.     Pengertian diagnostik, yaitu penilaian terhadap hasil penganalisaan tentang keadaan peserta didik baik merupakan kesulitan/ hambatan yang diikuti dalam proses pembelajaran.

PEMBAHASAN  HADIST
الكيس هو من يحاسب نفسه ويعمل لما بعد الموت والعاجز من اتبع نفسها هواها وتمنى على الله
Dari syadad bin Aus ra. Dari nabi muhammad SAW, bahwa beliau berkata: “Orang yang pandai adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT”.
Pandai
الكيس
Intropeksi
حاسب يحاسب
Melakukan/ berbuat
عمل يعمل
Mati
الموت
Lemah
العجز
Mengikuti
اتبع يتبع
Berangan-angan
وتمنى

(Imam Turmudzi) berkata, Hadits ini adalah hadits hasan, dan makna sabda Rasul SAW (نفسه ) adalah ( حاسب نفسه في الدنيا قبل أن يحاسب يوم القيامة ) ‘orang yang menghisab (mengevaluasi diri) di dunia sebelum dihisab pada hari akhir.’
Dari Umar bin Khatab ra beliau mengemukakan:
يحاسب  نفسه فى الدنيا قبل ان يحاسب يوم القيامة
“hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab), dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab dirinya di dunia”. (lihat, Tarikhu Umar: 201)
Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar faham bahwa setiap insan akan dihisab, maka ia pun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah SWT.
Dan diriwayatkan pula dari Maimun bin Mihran bahwa ia berkata:               “ seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisabnya pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya.
Maimun bin Mihran mengaitkan evaluasi dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.

ANALISA KRITIS KANDUNGAN HADIST
Hadits diatas menggambarkan mengenai urgensi (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah SAW mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan ( الكيس ), sedangkan kegagalan ( العاجز ) dikaitkan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.
Hadits di atas dibuka Rasulullah SAW dengan sabdanya, ( الكيس من دان نفسه وعمل لما بعد الموت ) “orang yang pandai (sukses) adalah orang yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya.”  Ungkapan sederhana di atas sungguh menggambarkan tentang sebuah visioner yang harus dimiliki seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan menembus dimensi kehidupan dunia, yaitu visi hingga pada kehidupan setalah kematian.  Seorang muslim tidak seharusnya hanya berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi & planing untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi. Karena orang yang sukses adalah orang yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka panjangnya. Orang bertakwa adalah orang yang ‘rela’ mengorbankan keinginan duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, ‘kebahagian kehidupan ukhrawi.’
Evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai kunci pertama dari kesuksesan ( الكيس ). Karena sekali lagi, orang yang sukses akan selalu mengevaluasi dari kinerja pribadi yang telah dilakukannya. Selain itu, Rasulullah SAW juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ( وعمل لما بعد الموت )’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah SAW langsung setelah penjelasan tentang evaluasi. Karena evaluasi juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.

            Terdapat hal menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah SAW mengenai kesuksesan. Tersirat dari hadits di atas, orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri. Sementara banyak sekali pribadi-pribadi maupun institusi yang mengevaluasi kinerja atau aktivitasnya lantaran orang lain, atau agar dinilai ‘baik’ oleh pihak lain.
Sementara kebalikan dari hal tersebut yaitu kegagalan, yang disebut oleh Rasulullah SAW dengan       ( العاجز ) ‘orang yang lemah’, memiliki dua ciri mendasar yaitu yang pertama adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya ( من اتبع نفسها هواها ). Membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak memiliki planing, tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan hidupnya. Dan orang yang seperti ini sudah akan terukur kegagalannya. Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan, ( الله على وتمنى)’berangan-angan terhadap Allah.’

PENUTUP
Meskipun dalam sumber ilmu pendidikan islam, klasifikasi jenis evaluasi diatas tidak ditemukan secara eksplisit, namun dalam praktek dapat diketahui bahwa pada prinsipnya evaluasi-evaluasi sejenis itu juga sering kali ditemukan dalam al-qur’an dan sunnah nabi. Misalnya, murid-murid al-kuttab pada periode awal perkembangan islam hanya ditetapkan untuk anak-anak. Demikian juga zawiyyah,hanya  diikuti oleh orang-orang yang berminat sama, yaitu tasawuf. Juga prinsip ibnusina dalam pemberian pelajaran yang harus dimulai dari yang muda menuju pelajaran yang  susah mengingat kemampuan murid yang belum dapat menguasai secara  cepat bahan-bahan   pengetahuan yang diberikan oleh guru (ini hasil evaluasi beliau). Dalam sejarah pendidikan islam terbukti bahwa setiap akhir unit pelajaran, diselenggarakan khataman sebagai cara menilai hasil akhir dari proses pendidikan. Dimadrasah-madrasah dinegeri kita sejak dahulu telah dikenal system imtihan atau ujian.
 Tuhan memberi contoh sisitem evaluasi seperti difirmankan dala kitab suci-Nya, yang sasaranny adalah untuk mengetahui dan menilai sejauh mana kadar iman, takwa, dan ketahanan mental dan keteguhan hati serta kesediaan menerima ajakan tuhan untuk mentaati perintah dan menjauhi laranganNya. Kemudian setelah dinilai maka Tuhan menetapkan kriteria-kriteria drajat kemuliaan hamba-Nya. Bagi  yang berderajat mulia di sisi-Nya, Dia akan memberi “hadiah” atau pahala sesuai kehendak-Nya yang berpuncak pada pahala tertinggi, yaitu surga. Dan yang berderajat rendah karena ingkar terhadap ajakan-Nya maka dia akan memberi balasan siksa, dan siksa tertinggi adala api neraka.



DAFTAR PUSTAKA
Hadits riwayat Imam Turmudzi dalam Jami’nya, kitab Shifatul Qiyamah War Raqa’iq Wal Wara’ An Rasulillah SAW, bab Minhu, hadits no. 2383.
Riwayat Ibnu Majah dalam Sunannya, Kitab Al-Zuhud, Bab Dzikrul Maut Wal Ist’dad Lahu, hadits no. 4250.
 Hadist riwayat Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, dalam Musnad Al-Syamiyin, hadits Syadad bin Aus, hadits no. 16501.
http://www.nilai muhasabah.htm
Ramayulis,Ilmu Pendidikan Islam, (kalam Mulia : Jakarta 2002)
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (PT. Rajagrafindo Persada : Jakarta 1996)
Arifin, H.M, Ilmu Pendidikan Islam (Bumi Aksara : Jakarta 2006)


[1] Ramayulis,Ilmu Pendidikan Islam, (kalam Mulia : Jakarta 2002) hlm. 220
[2] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (PT. Rajagrafindo Persada : Jakarta 1996)  hlm. 1
[3] Sudijono Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan (PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 1996) hlm. 2


[4] Arifin, H.M, Ilmu Pendidikan Islam (Bumi Aksara : Jakarta 2006) hlm. 162

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments

About



Your source for the lifestyle news. This demo is crafted specifically to exhibit the use of the theme as a lifestyle site. Visit our main page for more demos.