-->
PENDAHULUAN
Evaluasi
sangat dibutuhkan dalam berbagai kegiatan kehidupan manusia sehari-hari, karena
disadari atau tidak, sebenarnya evaluasi sudah sering dilakukan, baik untuk
diri sendiri maupun kegiatan social lainnya.Hal ini dapat dilihat mulai dari
berpakaian, setelah ia berpakaian ia berdiri dihadapan kaca apakah
penampilannya sudah wajar atau belum.
Dalam
pendidikan islam evaluasi merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan
islam yang harus dilakukan secara sistematis dan terencana sebagai alat untuk
mengukur keberhasilan atau target yang akan dicapai dalam proses pendidikan
islam dan proses pembelajaran.
Pembelajaran
adalah kegiatan yang disengaja (sadar) oleh peserta didik dengan arahan,
bimbingan atau bantuan dari pendidik untuk memperoleh suatu perubahan.
Perubahan yang diharapkan meliputi : aspek kognitif (pengetahuan) afektif
(sikap dan tingkah laku), dan psikomotorik (gerakan ragawi/ keterampila). Untuk
mengetahui sejauh mana tujuan pembelajaran atau kompetensi yang diharapkan
tercapai oleh peserta didik diperoleh melalui evaluasi[1].
Secara
harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa inggris evaluation-value; dalam
bahasa arab: al-Taqdir (تقدىر -ال);
dalam bahasa indonesia berarti penilaian. Akar katanya Value; dalam bahasa
arab: al-Qimah (قيمه -ال);
dalam bahasa indonesia berarti; nilai. Dengan demikian secara harfiah, evaluasi
pendidikan (educational evaluation= al-Taqdir Tarbawiy= ال- تقدير تربؤي ) dapat diartikan sebagai:
penilaian dalam (bidang) pendidikan atau penilaian mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan kegiatan pendidikan[2].
Bebicara tentang
evaluasi pendidikan, di tanah air kita, lembaga administrasi negara
mengemukakan batasan mengenai evaluasi pendidikan sebagai berikut:
Evaluasi pendidikan
adalah:
1.
proses atau
kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang
telah ditentukan;
2.
usaha untuk
memperoleh informasi berupa umpan balik (feed
back) bagi penyempurnaan pendidikan[3].
Sasaran evaluasi
pendidikan islam secara garis besar meliputi empat kemampuan dasar anak didik,
yaitu:
1.
sikap dan
pengalaman pribadinya, hubungannya dengan Tuhan;
2.
sikap dan
pengalaman dirinya, hubungannya dengan masyarakat;
3.
sikap dan
pengalaman kehidupannya, hubungannya dengan alam sekitar;
4.
sikap dan
pandangannya terhadap dirinya selaku hamba Allah dan selaku anggota
masyarakatnya, serta selaku khalifah
di muka bumi.
Keempat kemampuan
dasar tersebut dijabarkan dalam klasifikasi kemampuan teknis masing-masing
sebagai berikut.
a.
Sejauh mana
loyalitas dan kesungguhan untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan dengan
indikasi-indikasi lahiriah berupa tingkah laku yang mencerminkan
keimanankatakwaan kepada Tuhan. Aspek teknis ini berwujud dalam bentuk tingkah
laku yang merujuk kepada keimanan, ketekunan beribadah, kemampuan praktis dalam
mengerjakan syari’at islam dan cara menanggapi atau melakukan responsi terhadap
permasalahan hidup seperti tawakkal, sabar, dan ketenangan batin serta menahan
amarah.
b.
Sejauh mana
menerapkan nilai-nilai agamanya dan kegiatan hidup bermasyarakat, seperti
berakhlak mulia dalam pergaulan dalam menjalankan norma-norma agama dalam
kaitannya dengan orang lain.
c.
Bagaimana ia
mengelola dan memelihara serta menyesuaikan dirinya dengan alam sekitar.
d.
Bagaimana dan
sejauh mana ia sebagai seorang hamba muslim memandang dirinya sendiri (self-concept) dalam berperan kepada
Allah dalam menghadapi kenyataan bermasyarakat.
Sasaran
evaluasi tersebut dirumuskan ke dalam item-item pertanyaan atau
statemen-statemen yang disajikan kepada manusia didik untuk ditanggapi. Hasil
dari tanggapan mereka kemudian dianalisis secara psikologis, karena yang
menjadi pokok persoalan evaluasi adalah sikap mental dan pandangan dasar dari
mereka sebagai manifestasi dan keimanan dan keislaman serta ilmu
pengetahuannya.
Dengan
memperhatikan kekhususan tugas
pendidikan islam yang meletakkan faktor pengembangan fitrah anak didik,
nilai-nilai agama dijadikan landasan kepribadian anak dididk yang dibentuk
melalui proses itu maka idealitas islam yang telah teprbentuk dan menjiwai
pribadi anak didik tidak dapat diketahui oleh pendidik muslim, tanpa melalui
proses evaluasi[4].
Jenis-jenis evaluasi adalah sebagai
berikut:
1.
Penilaian formatif, yaitu penilaian untuk
mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik setelah menyelesaikan
program.
2.
Penilaian sumatif, yaitu penilaian yang
dilakukan terhadap hasil belajar peserta didik yang telah selesai mengikuti
pembelajaran.
3.
Penilaian penempatan, yaitu penilaian tentang pribadi peserta didik
untuk kepentingan penempatan didalam situasi belajar yang sesuai dengan kondisi
peserta didik.
4.
Pengertian diagnostik, yaitu penilaian terhadap hasil penganalisaan
tentang keadaan peserta didik baik merupakan kesulitan/ hambatan yang diikuti
dalam proses pembelajaran.
PEMBAHASAN
HADIST
الكيس هو من يحاسب نفسه ويعمل لما بعد الموت والعاجز من اتبع نفسها هواها
وتمنى على الله
Dari syadad
bin Aus ra. Dari nabi muhammad SAW, bahwa beliau berkata: “Orang yang pandai adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya
sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah
adalah orang yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap
Allah SWT”.
Pandai
|
الكيس
|
Intropeksi
|
حاسب يحاسب
|
Melakukan/ berbuat
|
عمل يعمل
|
Mati
|
الموت
|
Lemah
|
العجز
|
Mengikuti
|
اتبع يتبع
|
Berangan-angan
|
وتمنى
|
(Imam
Turmudzi) berkata, Hadits ini adalah hadits hasan, dan makna sabda Rasul SAW (نفسه ) adalah ( حاسب نفسه في الدنيا قبل أن يحاسب يوم القيامة ) ‘orang
yang menghisab (mengevaluasi diri) di dunia sebelum dihisab pada hari akhir.’
Dari Umar
bin Khatab ra beliau mengemukakan:
يحاسب نفسه فى الدنيا قبل ان يحاسب يوم القيامة
“hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum
kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar
(yaumul hisab), dan bahwasanya
hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab
dirinya di dunia”. (lihat, Tarikhu
Umar: 201)
Pada kalimat terakhir
pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi
dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar faham bahwa setiap
insan akan dihisab, maka ia pun memerintahkan agar kita menghisab diri kita
sebelum mendapatkan hisab dari Allah SWT.
Dan
diriwayatkan pula dari Maimun bin Mihran bahwa ia berkata: “ seorang hamba tidak dikatakan
bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisabnya pengikutnya dari
mana makanan dan pakaiannya.
Maimun bin
Mihran mengaitkan
evaluasi dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab
(mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri orang
yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang
yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.
ANALISA KRITIS KANDUNGAN HADIST
Hadits
diatas menggambarkan mengenai urgensi (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan
di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan
misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam
menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah),
perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi
(muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh
Rasulullah SAW dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah SAW mengaitkan
evaluasi dengan kesuksesan ( الكيس
), sedangkan kegagalan ( العاجز
) dikaitkan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.
Hadits di
atas dibuka Rasulullah SAW dengan sabdanya, ( الكيس من دان نفسه وعمل لما بعد الموت ) “orang
yang pandai (sukses) adalah orang yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk
kehidupan setelah kematiannya.” Ungkapan
sederhana di atas sungguh menggambarkan tentang sebuah visioner yang harus
dimiliki seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan menembus dimensi
kehidupan dunia, yaitu visi hingga pada kehidupan setalah kematian. Seorang muslim tidak seharusnya hanya
berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka waktu
sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi & planing
untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi. Karena orang yang sukses adalah
orang yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka
panjangnya. Orang bertakwa adalah orang yang ‘rela’ mengorbankan keinginan
duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, ‘kebahagian kehidupan ukhrawi.’
Evaluasi
atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai kunci pertama
dari kesuksesan ( الكيس ). Karena
sekali lagi, orang yang sukses akan selalu mengevaluasi dari kinerja pribadi
yang telah dilakukannya. Selain itu, Rasulullah SAW juga menjelaskan kunci
kesuksesan yang kedua, yaitu action after
evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini
diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ( وعمل لما بعد الموت )’dan
beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir
ini diungkapkan Rasulullah SAW langsung setelah penjelasan tentang evaluasi.
Karena evaluasi juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau
perbaikan.
Terdapat hal menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah SAW mengenai kesuksesan. Tersirat dari hadits di atas, orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri. Sementara banyak sekali pribadi-pribadi maupun institusi yang mengevaluasi kinerja atau aktivitasnya lantaran orang lain, atau agar dinilai ‘baik’ oleh pihak lain.
Terdapat hal menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah SAW mengenai kesuksesan. Tersirat dari hadits di atas, orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri. Sementara banyak sekali pribadi-pribadi maupun institusi yang mengevaluasi kinerja atau aktivitasnya lantaran orang lain, atau agar dinilai ‘baik’ oleh pihak lain.
Sementara
kebalikan dari hal tersebut yaitu kegagalan, yang disebut oleh Rasulullah SAW
dengan ( العاجز ) ‘orang yang lemah’, memiliki dua ciri
mendasar yaitu yang pertama adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya ( من اتبع نفسها هواها ). Membiarkan hidupnya tidak memiliki
visi, tidak memiliki planing, tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih
memuhasabahi perjalanan hidupnya. Dan orang yang seperti ini sudah akan terukur
kegagalannya. Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan
khayalan, ( الله على وتمنى)’berangan-angan terhadap Allah.’
PENUTUP
Meskipun
dalam sumber ilmu pendidikan islam, klasifikasi jenis evaluasi diatas tidak
ditemukan secara eksplisit, namun dalam praktek dapat diketahui bahwa pada
prinsipnya evaluasi-evaluasi sejenis itu juga sering kali ditemukan dalam
al-qur’an dan sunnah nabi. Misalnya, murid-murid al-kuttab pada periode awal perkembangan islam hanya ditetapkan
untuk anak-anak. Demikian juga zawiyyah,hanya diikuti oleh orang-orang yang berminat sama,
yaitu tasawuf. Juga prinsip ibnusina dalam pemberian pelajaran yang harus
dimulai dari yang muda menuju pelajaran yang
susah mengingat kemampuan murid yang belum dapat menguasai secara cepat bahan-bahan pengetahuan yang diberikan oleh guru (ini
hasil evaluasi beliau). Dalam sejarah pendidikan islam terbukti bahwa setiap
akhir unit pelajaran, diselenggarakan khataman
sebagai cara menilai hasil akhir dari proses pendidikan. Dimadrasah-madrasah
dinegeri kita sejak dahulu telah dikenal system imtihan atau ujian.
Tuhan memberi contoh sisitem evaluasi seperti
difirmankan dala kitab suci-Nya, yang sasaranny adalah untuk mengetahui dan
menilai sejauh mana kadar iman, takwa, dan ketahanan mental dan keteguhan hati
serta kesediaan menerima ajakan tuhan untuk mentaati perintah dan menjauhi
laranganNya. Kemudian setelah dinilai maka Tuhan menetapkan kriteria-kriteria
drajat kemuliaan hamba-Nya. Bagi yang
berderajat mulia di sisi-Nya, Dia akan memberi “hadiah” atau pahala sesuai
kehendak-Nya yang berpuncak pada pahala tertinggi, yaitu surga. Dan yang
berderajat rendah karena ingkar terhadap ajakan-Nya maka dia akan memberi
balasan siksa, dan siksa tertinggi adala api neraka.
DAFTAR PUSTAKA
Hadits riwayat Imam Turmudzi dalam Jami’nya, kitab
Shifatul Qiyamah War Raqa’iq Wal Wara’ An Rasulillah SAW, bab Minhu, hadits no.
2383.
Riwayat Ibnu Majah dalam Sunannya, Kitab Al-Zuhud, Bab
Dzikrul Maut Wal Ist’dad Lahu, hadits no. 4250.
Hadist riwayat
Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, dalam Musnad Al-Syamiyin, hadits Syadad
bin Aus, hadits no. 16501.
http://www.nilai muhasabah.htm
Ramayulis,Ilmu
Pendidikan Islam, (kalam Mulia : Jakarta 2002)
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi
Pendidikan, (PT. Rajagrafindo Persada : Jakarta 1996)
Arifin, H.M, Ilmu Pendidikan Islam
(Bumi Aksara : Jakarta 2006)
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments