Kamis, 17 Maret 2022

thumbnail

Hadits Makan

 

 MAKAN DAN DO'A



 

صحيح مسلم ١٦٨٦: و حَدَّثَنِي أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ حَدَّثَنِي عَدِيُّ بْنُ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ } وَقَالَ{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

 


Dan telah menceritakan kepadaku Abu Kuraib Muhammad bin Al Ala` Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah Telah menceritakan kepada kami Fudlail bin Marzuq telah menceritakan kepadaku Adi bin Tsabit dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. 

Firman-Nya: 'Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.' (Q.S Al-Mu’minun:51) 

Dan Allah juga berfirman: 'Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang Telah menceritakan kepada kami telah kami rezekikan kepadamu.(Q.S. Al-Baqarah: 172) 

Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tentang seroang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo'a: "Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku." Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do'anya?."



thumbnail

CARA MEMILIH PASANGAN HIDUP

CARA MEMILIH PASANGAN HIDUP



Perlu diketahui bersama bahwa memilih istri yang baik merupakan salah satu hal yang sangat penting hal ini tidak ditemukan adanya perbedaan pandangan. Akan tetapi yang di perselisihkan hanyalah berkisar pada hal-hal,

  •  Bagaimana masalah pilihan itu bisa dikategorikan baik ?
  •  Apakah berdasar pada harta keturunan kecantikan ataukah agama ?

Karenanya lah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam memberikan solusi melalui sepedanya sebagai berikut :

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ubaidullah ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abu Sa'id dari bapaknya dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

"Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung."

Dari Sabda beliau SAW, ini dapat diambil kesimpulan bahwa sebaik-baik perempuan adalah perempuan yang shalihah, sebagaimana sabda beliau SAW ;

صحيح مسلم ٢٦٦٨: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ أَخْبَرَنِي شُرَحْبِيلُ بْنُ شَرِيكٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيَّ يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو:أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

"Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdullah bin Numair Al Hamdani telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid telah menceritakan kepada kami Haiwah telah mengabarkan kepadaku Syurahbil bin Syarik bahwa dia pernah mendengar Abu Abdurrahman Al Hubuli telah bercerita dari Abdullah bin 'Amru bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah."

Maka dari itu, perempuan yang shalihah adalah perempuan yang bias menyenangkan hati suaminya, yang selalu mengajak berbuat kebaikan dan melarang dari keburukan serta memotivasi suaminya untuk beribadah dan sabra dalam menghadapai segala keadaan, sebab Nabi SAW, bersabda :

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

“Dikatakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: siapakah wanita yang paling baik? Beliau menjawab: " Yang paling menyenangkannya jika dilihat suaminya, dan mentaatinya jika ia memerintahkannya dan tidak menyelisihinya dalam diri dan hartanya dengan apa yang dibenci suaminya."

Sekalipun demikian kriteria memilih laki-laki itu sama halnya dengan kriteria memilih perempuan yaitu hendaknya yang diprioritaskan adalah agama dan kesholihannya, sehingga seorang suami yang baik adalah laki-laki yang ramah bertanggung jawab dan bisa membimbing istrinya dan selalu mengajak kebajikan dan melarang kemungkaran selalu menasehati dalam kebaikan dan kesabaran penyebar dan mampu memimpin keluarganya kepada kebaikan karenanya nabi muhammad shallallahu alaihi wasallam berwasiat kepada wali atau orang tua perempuan dengan sabdanya,

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ

Jika datang melamar kepadamu orang yang engkau senangi agama dan akhlaknya makan nikah kan lah iya dengan putri malu jika kamu tidak menerima lamarannya niscaya terjadi malapetaka di bumi dan kerusakan yang luas


Rabu, 16 Maret 2022

thumbnail

Hukum Peringatan Maulid

 

PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW



Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW adalah acara rutin yang dilaksanakan oleh mayoritas kaum muslimin untuk mengingat, mengahayati dan memuliakan kelahiran Rasulullah. Menurut catatan Sayyid al-Bakri, pelopor pertama kegiatan maulid adalah al-Mudzhaffar Abu Sa`id, seorang raja di daerah Irbil, Baghdad. Peringatan maulid pada saat itu dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kalangan dengan berkumpul di suatu tempat. Mereka bersama-sama membaca ayat-ayat Al-Qur’an, membaca sejarah ringkas kehidupan dan perjuangan Rasulullah, melantuntan shalawat dan syair-syair kepada Rasulullah serta diisi pula dengan ceramah agama. [al-Bakri bin Muhammad Syatho, I`anah at-Thalibin, Juz II, hal 364]

Peringatan maulid Nabi seperti gambaran di atas tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah maupun sahabat. Karena alasan inilah, sebagian kaum muslimin tidak mau merayakan maulid Nabi, bahkan mengklaim bid`ah pelaku perayaan maulid. Menurut kelompok ini seandainya perayaan maulid memang termasuk amal shaleh yang dianjurkan agama, mestinya generasi salaf lebih peka, mengerti dan juga menyelenggarakannya. [Ibn Taimiyah, Fatawa Kubra, Juz IV, hal 414].

Oleh karena itulah, penting kiranya untuk memperjelas hakikat perayaan maulid, dalil-dalil yang membolehkan dan tanggapan terhadap yang membid`ahkan. Bukan Bid`ah yang Dilarang Telah banyak terjadi kesalahan dalam memahami hadits Nabi tentang masalah bid`ah dengan mengatakan bahwa setiap perbuatan yang belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah adalah perbuatan bid`ah yang sesat dan pelakunya akan dimasukkan ke dalam neraka dengan berlandaskan pada hadist berikut ini,

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

Artinya: Berhati-hatilah kalian dari sesuatu yang baru, karena setiap hal yang baru adalah bid`ah dan setipa bid`ah adalah sesat”. [HR. Ahmad No 17184].

Pemahaman Hadits ini bisa salah apabila tidak dikaitkan dengan Hadits yang lain, yaitu,

 عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: «مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ» رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: «مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-ngada dalam urusan kami ini yang bukan bagian dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang beramal tanpa ada perintahnya dari kami, maka amal itu tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan أمرنا dalam hadits di atas adalah urusan agama, bukan urusan duniawi, karena kreasi dalam masalah dunia diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat. Sedangkan kreasi apapun dalam masalah agama adalah tidak diperbolehkan. [Yusuf al-Qaradhawi, Bid`ah dalam Agama, hal 177]

Dengan demikian, maka makna hadits di atas adalah sebagai berikut, “Barang siapa berkereasi dengan memasukkan sesuatu yang sesungguhnya bukan agama, lalu diagamakan, maka sesuatu itu merupakan hal yang ditolak” Dapat dipahami bahwa bid`ah yang dhalalah (sesat) dan yang mardudah (yang tertolak) adalah bid`ah diniyah. Namun banyak orang yang tidak bisa membedakan antara amaliyah keagamaan dan instrumen keagamaan. Sama halnya dengan orang yang tidak memahami format dan isi, sarana dan tujuan. Akibat ketidakpahamannya, maka dikatakan bahwa perayaan maulid Nabi sesat, membaca Al-Qur’an bersama-sama sesat dan seterusnya.

Padahal perayaan maulid hanyalah merupakan format, sedangkan hakikatnya adalah bershalawat, membaca sejarah perjuangan Rasulullah, melantunkan ayat Al-Qur’an, berdoa bersama dan kadang diisi dengan ceramah agama yang mana perbuatan-perbuatan semacam ini sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an maupun Hadits.

Dan lafadz كل pada hadits tentang bid`ah di atas adalah lafadz umum yang ditakhsis. Dalam Al-Qur’an juga ditemukan beberapa lafadz كل yang keumumannya di takhsis. Salah satu contohnya adalah ayat 30 Surat al-Anbiya`:

 وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَي

Artinya: Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air. (QS al-Anbiya': 30)

Kata segala sesuatu pada ayat ini tidak dapat diartikan bahwa semua benda yang ada di dunia ini tecipta dari air, tetapi harus diartikan sebagian benda yang ada di bumi ini tercipta dari air. Sebab ada benda-benda lain yang diciptakan tidak dari air, namun dari api, sebagaimana firman Allah dalam Surat ar-Rahman ayat 15:

 وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَار

Artinya: Dan Allah menciptakan jin dari percikan api yang menyala. Oleh karena itulah, tidak semua bid`ah dihukumi sesat dan pelakunya masuk neraka. Bid`ah yang sesat adalah bid`ah diniyah, yaitu meng-agamakan sesuatu yang bukan agama. Adapun perayaan maulid Nabi tidaklah termasuk bid`ah yang sesat dan dilarang karena yang baru hanyalah format dan instrumennya. Berkenaan dengan hukum perayaan maulid, As-Suyuthi dalam al-Hawi lil Fatawi menyebutkan redaksi sebagai berikut:

 أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.

“Hukum Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, mengatakan:

 وَالْحَاصِلُ اَنّ الْاِجْتِمَاعَ لِاَجْلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ اَمْرٌ عَادِيٌّ وَلَكِنَّهُ مِنَ الْعَادَاتِ الْخَيْرَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تَشْتَمِلُ عَلَي مَنَافِعَ كَثِيْرَةٍ وَفَوَائِدَ تَعُوْدُ عَلَي النَّاسِ بِفَضْلٍ وَفِيْرٍ لِاَنَّهَا مَطْلُوْبَةٌ شَرْعًا بِاَفْرِادِهَا.

Artinya: Bahwa sesungguhnya mengadakan Maulid Nabi Saw merupakan suatu tradisi dari tradisi-tradisi yang baik, yang mengandung banyak manfaat dan faidah yang kembali kepada manusia, sebab adanya karunia yang besar. Oleh karena itu dianjurkan dalam syara’ dengan serangkaian pelaksanaannya. [Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu An-Tushahha, hal. 340]

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perayaan maulid Nabi hanya formatnya yang baru, sedangkan isinya merupakan ibadah-ibadah yang telah diatur dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh karena itulah, banyak ulama yang mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi adalah bid`ah hasanah dan pelakunya mendapatkan pahala. Dalil-dalil Syar`i Perayaan Maulid Nabi Di antara dalil perayaan maulid Nabi Muhammad menurut sebagian Ulama` adalah firman Allah:

 قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Artinya: “Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira.” (QS.Yunus: 58)

Ayat ini menganjurkan kepada umat Islam agar menyambut gembira anugerah dan rahmat Allah. Terjadi perbedaan pendapat diantara ulama dalam menafsiri الفضل dan الرحمة. Ada yang menafsiri kedua lafadz itu dengan Al-Qur’an dan ada pula yang memberikan penafsiran yang berbeda. Abu Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa yang dimaksud dengan الفضل adalah ilmu, sedangkan الرحمة adalah Nabi Muhammad SAW.

Pendapat yang masyhur yang menerangkan arti الرحمة dengan Nabi SAW ialah karena adanya isyarat firman Allah SWT yaitu,

 وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Artinya: “Kami tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Ambiya’:107).”[Abil Fadhol Syihabuddin Al-Alusy, Ruhul Ma’ani, Juz 11, hal. 186]

Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani Bergembira dengan adanya Nabi Muhammad SAW ialah dianjurkan berdasarkan firman Allah SWT pada surat Yunus ayat 58 di atas. [Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Ikhraj wa Ta’liq Fi Mukhtashar Sirah An-Nabawiyah, hal 6-7]

Dalam kitab Fathul Bari karangan al- Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani diceritakan bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan siksa tiap hari senin karena dia gembira atas kelahiran Rasulullah. Ini membuktikan bahwa bergembira dengan kelahiran Rasulullah memberikan manfaat yang sangat besar, bahkan orang kafirpun dapat merasakannya. [Ibnu hajar, Fathul Bari, Juz 11, hal 431] Riwayat senada juga ditulis dalam beberapa kitab hadits di antaranya Shohih Bukhori, Sunan Baihaqi al-Kubra dan Syi`bul Iman. [Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, Juz 7, hal 9, Sunan Baihaqi al-Kubra, Juz 7, hal 9, Syi`bul Iman, Juz 1, hal 443].

Selasa, 18 Desember 2012

thumbnail

Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan


BAB II
PENDAHULUAN
 1.1 Latar Belakang
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam membentuk Sumber Daya Manusia yang produktif, inovatif dan berkepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai budaya.
Disamping memberikan nilai-nilai kognitif, afektif dan psikomotorik kepada setiap warga negara, pendidikan juga digunakan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai yang diharapkan berguna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Negara menjamin bahwa setiap warga negara (perempuan dan laki-laki) mempunyai kesamaan hak dan kewajiban yang sama untuk memperoleh pendidikan, yang dituangkan dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentng Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 DAN Permendiknas Nomor 84 Tahun 2008 sebagai bentuk komitmen negara terhadap berbagai bentuk diskriminasi yang dialami perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan. Komitmen tersebut diperkuat dengan penandatanganan Optional Protocol to CEDAW oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 28 Februari 2000.
Pasal 27 Ayat 1 Undang Undang Dasar 1945 (UUD 45) dengan tegas menyatakan bahwa semua warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum. Begitu pula dengan peraturan perundangan lainnya yang telah mengakui adanya persamaan hak dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini diperkuat juga dengan telah diratifikasinya konvensi mengenai Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tanggal 24 Juli 1984, melalui Undang Undang (UU) Nomor 80 tahun 1984. Hal tersebut memperkuat komitmen Indonesia yang juga telah meratifikasi Konvensi Internasional Labour Organization Nomor 100 tahun 1951, mengenai azas pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan, melalui UU Nomor 80 tahun 1957. Selain itu melalui UU Nomor 68 tahun 1985 diuraikan tentang pengesahan konvensi hak-hak politik kaum perempuan.
Perspektif gender adalah cara pandang yang melihat dampak dari atribut gender seseorang pada kemungkinan orang itu untuk membangun kesempatan, peran sosial, dan interaksinya dengan atribut gender yang berlawanan. Hal ini berbeda dengan perbedaan jenis kelamin yaitu perbedaan yang diakibatkan adanya unsur biologis manusia, sedangkan perbedaan yang disebabkan oleh konstruksi sosial disebut perbedaan gender (De Beauvoir, 1989).
Ketidaksetaraan dan ketidaksensitifan gender tersebut telah menyebar luas di masyarakat atas pengaruh budaya patriarki yang telah mengakar di masyarakat. Budaya tersebut secara sadar ataupun tidak sadar disebarluaskan pula di dalam dunia pendidikan yang mestinya menjunjung tinggi kesetaraan gender. Sebagai contoh, banyak buku pelajaran di tingkat sekolah dasar hingga tingkat menengah memanipulasi citra perempuan. Perempuan masih selalu digambarkan ada di lingkungan rumah tangga, pekerjaannya hanyalah sebagai ibu rumah tangga yang bertugas memasak, menyapu, mengasuh anak, dan belanja kebutuhan rumah tangga.
Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Penanaman posisi yang keliru tersebut (bias gender) terus diacu sebagai suatu hal yang wajar oleh peserta didik perempuan (mahasiswi) maupun laki-laki (mahasiswa). Akibatnya, ketidakadilan gender terus berlangsung di sekolah-sekolah hingga sekarang. Kondisi ini tentu saja memprihatinkan dan menjadi perhatian di kalangan pendidik sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah kondisi seperti ini juga terdapat dalam buku-buku yang digunakan di perguruan tinggi? Untuk itu perlu dilakukan kajian terhadap kesetaraan gender melalui pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian gender ?
2.      Mengapa konsep Gender penting dalam pendidikan?
1.3 Tujuan Penulisan
1.      Mahasiswa mengetahui pengertian Gender
2.      Mahasiswa mengetahui pentingnya konsep gender dalam pendidikan.





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Gender
Gender menurut Oakley (1972) dalam Sex, Gender dan Society berarti perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis jenis kelamin (sex) merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen dan universal berbeda. Sementara ”gender” adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan melainkan diciptakan oleh baik laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.
Sedangkan menurut Caplan (1987) dalam The Cultural Construction of Sexuality menegaskan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan cultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah.
Gender dalam pengertian ilmu social diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang didasarkan pada ciri sosial masing-masing. Tercakup didalamnya pembagian kerja, pola relasi kuasa, perilaku, peralatan, bahasa, persepsi yang membedakan lelaki dengan perempuan dan banyak lagi. Sebagai pranata sosial, gender bukan sesuatu yang baku dan tidak berlaku universal. Artinya , berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain dan dari satu waktu ke lainnya. Jadi, pola relasi gender di Yogyakarta misalnya sangat berbeda dengan di Aceh, berbeda dengan di Saudi Arabia dan sebagainya. ( Wardah Hafidz, MA : Pola relasi gender dan permasalahannya).
Gender mengacu pada peran sosial, tanggung jawab, dan  perilaku yang dibuat dalam keluarga kita, masyarakat kita dan budaya kita. Konsep gender juga mencakup harapan dipegang tentang karakteristik, bakat dan kemungkinan perilaku perempuan dan laki-laki (feminitas dan maskulinitas). Misalnya: "Pria sebagai berpenghasilan", dan "Perempuan sebagai pengasuh anak".
Peran dan harapan yang dipelajari dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini tidak secara biologis telah ditentukan, juga bukan tetap selamanya  mereka dapat berubah untuk mencapai ekuitas dan kesetaraan untuk perempuan dan laki-laki.
Jadi, konsep gender ialah suatu sifat laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh masyarakat baik secara kultural maupun sistemik. Misalnya perempuan secara kultural dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan, sedangkan laki-laki dikenal kuat, rasional jantan dan perkasa. Perempuan juga sering mendapatkan stigma-stigma atau label-label yang merugikan kaum perempuan dari masyarakat, misalnya : emosional, tukang ngrumpi, tidak rasional, cerewet, pesolek, genit, dan penakut sehingga beberapa pekerjaan atau posisi penting tidak diberikan kepada perempuan karena takut gagal. Sementara itu, sesungguhnya keadaan seperti di atas biasanya terjadi sebagai akibat dari ketidakadilan yang ditanggung oleh perempuan.
Perbedaan gender melahirkan ketidakadilan (gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi ketidakadilan yang ada. Mansour Fakih membagi manifestasi ketimpangan gender dalam marginalisasi atau pemiskinan perempuan, subordinasi, stereotip, kekerasan, beban ganda dan sosialisasi ideologi nilai peran gender.
a. Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi.
Gelombang perdagangan bebas dikendalikan oleh pemilik modal dengan serakah. Marginalisasi dan penindasan bagi kaum mustadh’afin menjadi buruh yang dieksploitasi. Penindasan dan pemarginalan terhadap kaum dhuafa’ dan masakin sering dilakukan oleh kelas-kelas dominan. Pun, elit keagamaan menjadi bagian dari proses de-humanisasi. Isu perubahan kerja yang adil harus jadi prioritas bagi elit keagamaan dengan semangat iman dalam bentuk amal. Hal ini sesuai dengan anjuran Tuhan untuk selalu berlomba-lomba dalam kebajikan. Kesalehan personal terhadap Tuhan tidak akan mampu membendung arus penindasan dan marginalisasi oleh kelas
Dominasi terhadap kaum mustadh’afin sejatinya kesalehan ini diwujudkan dalam interaksi dan sistem sosial dalam kehidupan sehari-hari.. Bersandar pada realitas seperti itu, maka mengahadirkan agama sebagai rahmatallil’alamin bagi seluruh umatnya menjadi sebuah keharusan untuk menghadang dan membendung kemungkaran sosial.
b. Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik.
Perampasan daya sosial mencakup perampasan akses seperti informasi, pengetahuan, pengembangan keterampilan dan potensi kolektif, serta partisipasi dalam organisasi dan sumber-sumber keuangan. Perampasan daya politik meliputi perampasan akses individu pada pengambilan keputusan politik, termasuk kemampuan memilih dan menyuarakan aspirasi serta bertindak kolektif. Tekanan ini lebih merupakan akibat dari operasi watak otoritarian rezim dan pendukung koersifnya. Kebisuan ini yang harus dibongkar. Perampasan daya psikologis mencakup tekanan eksternal yang menyebabkan hilangnya perasaan individual mengenai potensi dirinya dalam kancah sosial-politik, sehingga individu itu tidak punya peluang untuk berpikir kritis. Tekanan eksternal itu diinternalisasi si miskin menjadi kesadaran palsu. Mereka percaya bahwa mereka miskin dan bodoh, tidak bisa apa-apa, selain mengandalkan orang lain untuk mengubah keadaannya.
c. Pembentukan sterotipe atau pelabelan negatif.
Setereotipe yang dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negativ secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap perempuan. Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya, pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Konsep gender ialah suatu sifat laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh masyarakat baik secara kultural maupun sistemik. Misalnya perempuan secara kultural dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan, sedangkan laki-laki dikenal kuat, rasional jantan dan perkasa. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyarakat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.
c. Kekerasan (violence).
Kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami, ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, atau majikan.
d. Beban kerja yang panjang dan lebih banyak (burden).
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
e. Sosialisasi ideologi nilai peran gender.
Yusuf Supiandi membeberkan bagaimana ketidaksetaraan gender itu memberi pengaruh yang cukup besar terhadap kemiskinan. Misalnya, investasi terhadap SDM, khususnya anak-anak dan perempuan dalam pendidikan dan kesehatan. Perempuan yang berpendidikan dan mempunyai kesehatan yang baik akan mempunyai kesempatan untuk aktif bekerja secara produktif pada sektor-sektor formal serta akan menikmati pendapatan yang baik dibanding dengan perempuan yang tidak punya pendidikan dan sakit-sakitan. Selain itu, perempuan yang punya pendidikan akan memberikan perhatian yang lebih besar pada anak-anaknya yang merupakan investasi bagi masa depan anak-anak.
Studi–studi tentang gender saat ini melihat bahwa ketimpangan gender terjadi akibat rendahnya kualitas sumber daya kaum perempuan sendiri, dan hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum lelaki. Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan adalah mendidik kaum perempuan dan mengajak mereka berperan serta dalam pembangunan. Namun kenyataannya proyek-proyek peningkatan peran serta perempuan agak salah arah dan justru mengakibatkan beban yang berganda-ganda bagi perempuan tanpa hasil yang memang menguatkan kedudukan perempuan sendiri.
Ketimpangan gender seperti tersebut di atas seringkali amat sulit untuk diperkarakan karena berbagai hal sebagai berikut:
v  Anggapan umum bahwa aktivitas/peran gender adalah kodrat, sehingga ketika kita mempersoalkannya maka itu dianggap sebagai melawan kodrat atau kepercayaan, yang sifatnya tentu sangat privat.
v  Beberapa perempuan sendiri tidak menyadari adanya ketimpangan gender karena telah lama mengadopsi ideologi patriarki yang terlanjur mendarah daging. Mereka lega-lila , ikhlas pasrah terhadap ideology yang menempatkan mereka sebagai kaum kedua, dan menerima kekerasan atau penindasan sebagai kewajiban atau kodrat mereka. Banyak perempuan rela dan menikmati posisi sebagai alat jaja atau objek keinginan patriarki.
Aparat ideologi yang tumbuh dalam struktur masyarakat kita, baik yang berwujud tokoh, kegiatan maupun teks masih bernafaskan patriarki: sekolah, sekolah, sastra, buku-buku sekolah, media massa, awak media, hukum, dai, dsb. Media massa yang mestinya tidak hanya berfungsi sebagai reflektor dari kenyataan sosial tetapi juga agent of change yang diharapkan menjadi konstruktor ideologi perubahan, ternyata justru menjadi pelestari ideologi patriarki. Banyak media yang masih melestarikan konsep feminitas tradisional yang menempatkan perempuan di wilayah domestik melulu atau membebani perempuan dengan beban ganda. Mereka juga ikut serta melecehkan perempuan karena seringkali menggunakan perempuan sebagai komoditas atau alat jaja. Seringkali teks mempledoi pemerkosa dan mengorbankan korban dan atau mengisntruksikan kembali konsep the glory of suffering atau pemuliaan pengorbanan bagi perempuan. Bahkan media massa yang mengklaim sebagai media massa perempuan, tidak luput dari ideologi patriarki yang amat sering ditunggangi pula oleh ideologi kapitalisme. Film, telenovela, sinetron, komik atau novel yang banyak ditonton kaum perempuan juga telah ikut serta melestarikan konsep-konsep tersebut di atas, sehingga kebenaran patriarki dikukuhkan kembali melalui teks yang merka renungi.
 2.2 Kesetaraan Gender
Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan  perempuan untuk memperoleh  kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,  hukum, ekonomi, sosial budaya,  pendidikan dan pertahanan & keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Kesetaraan gender juga,
·         Memperhatikan dan menghargai berbedaan sifat, sikap, aspirasi, dan kebutuhan laki-laki dan perempuan.
·         Hak, kesempatan, dan tanggung jawab tidak tergantung pada apakah mereka lahir sebagai laki-laki atau perempuan.
·         Bebas mengembangkan ketrampilan dan menentukan pilihan tanpa dibatasi oleh stereotipe, serta aturan-aturan yang kaku maupun bias gender.
·         Laki-laki dan perempuan bisa hidup dalam kesetaraan guna memenuhi tuntutan hidup.
·         Kesetaraan gender bukan berarti jumlah laki-laki dan perempuan harus sama dalam setiap kegiatan.
·         Bukan berarti memperlakukan laki-laki dan perempuan sama persis.
·         Tidak sama dengan feminisme atau perempuan.
2.3  Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Memastikan kesetaraan gender untuk anak perempuan dan anak laki-laki berarti bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki sekolah, serta untuk berpartisipasi dalam, dan manfaat dari berbagai mata pelajaran atau pengalaman belajar lain yang ditawarkan dalam ruang kelas dan sekolah. Melalui sensitif gender kurikulum, bahan belajar, dan belajar-mengajar proses, anak perempuan dan anak laki-laki menjadi sama dilengkapi dengan keterampilan hidup dan sikap bahwa mereka akan perlu mencapai potensi mereka sepenuhnya, dalam dan luar sistem pendidikan, tanpa memandang jenis kelamin mereka.
Selama anak perempuan tidak memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, kesetaraan gender hanyalah mimpi. Tapi di luar hanya memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, kesetaraan gender benar berarti bahwa sekolah adalah lingkungan yang peka-gender yang mempromosikan partisipasi yang setara dan pemberdayaan.
Kesetaraan gender membutuhkan beradaptasi sama dengan kebutuhan dan kepentingan perempuan dan anak laki-laki, menciptakan lingkungan sekolah yang bersahabat untuk kedua jenis kelamin dan memastikan bahwa perempuan sama-sama terwakili dalam mengajar, peran kepemimpinan administratif dan pendidikan.
Persamaan kesetaraan gender adalah satu kuat. Dengan menggabungkan hak untuk pendidikan dengan hak dalam pendidikan, kita dapat mencapai hak-hak melalui pendidikan. Memang, kesetaraan gender merupakan strategi penting untuk mengakhiri diskriminasi dan mencapai keadilan di masyarakat. Banyak laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa. Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya. Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya. Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan.
 Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan para siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan ternyata sarat dengan bias gender. Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang "hanya" dimiliki oleh laki-laki. Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Dalam rumusan kalimat pun demikian. Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki.
Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan "Masak laki-laki menangis? Laki-laki nggak boleh cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan "anak perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis dan hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya. Dalam upacara bendera di sekolah selalu bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam sejarah laki-laki yang membawa bendera pusaka itu.
Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalam upacara resmi sudah selayaknya menjadi tugas perempuan. Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan.
Bias gender yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial mereka di masa datang.
Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut atau bukan laki-laki sejati.
William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya.     Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak mami".
Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak mempunyai persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di kelas. Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa mereka tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya. Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah putih nan cantik, kulit halus, dan lain-lain. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan penampilan sempurna bak peragawati dengan cara-cara yang justru merusak tubuhnya. Padahal, di sekolah, siswa perempuan umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan laki-laki. Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak membaca buku.
 2.4 Pentingnya Konsep Gender Dalam Pendidikan
Melihat pendidikan melalui "lensa gender", pelayanan pejabat, guru, orang tua, dan sering perempuan dan anak laki-laki mungkin tidak berpikir bahwa mereka bias dalam hal gender, dan mereka mungkin sangat benar karena ini adalah apa yang mereka percaya. Sulit untuk melihat "masalah" ketika telah menjadi mendarah daging, bagian normal dari kehidupan mereka. Tapi meminta seperti pertanyaan: "Apa yang akan terjadi jika gadis diajarkan bagaimana membangun radio dan anak laki-laki diajarkan cara menjahit?" Dapat menyebabkan individu untuk mencerminkan kembali dan melihat lebih dekat pada asumsi mereka sendiri. Kita bisa mulai melihat bagaimana peran tradisional jender dan norma-norma dapat mempengaruhi apa dan bagaimana anak-anak kita belajar.
Konsep gender itu sangat penting, karena menuntun kita untuk memahami bahwa baik pria maupun wanita, anak laki-laki dan perempuan melakukan peran yang berbeda dan memiliki berbeda pengalaman, pengetahuan, bakat dan kebutuhan. Hanya melalui pemahaman, perbedaan-perbedaan yang pendidikan kebijakan, program dan proyek dapat mengidentifikasi dan memadai memenuhi yang berbeda dan beragam pembelajaran dan pelatihan kebutuhan pria dan wanita, anak laki-laki dan gadis-gadis. Penggunaan strategis pengetahuan yang berbeda dan ketrampilan yang dimiliki oleh keduanya adalah kunci untuk mencapai gender kesetaraan dan menyadari manusia penuh oleh hak-hak mereka.


2.5 Tujuan Kesetaraan Gender
Menyatukan sudut pandang yang responsif gender sebagai strategi untuk mengurangi dan atau menghapus kesenjangan gender dalam kebijakan  dan program pembangunan.
Sebagai bagian dari komitmen global, Pemerintah Indonesia juga mendukung semua kesepakatan Millenium Development Goals (MDG’s) yang dideklarasikan pada tahun 2000.
Komitmen MDG’s merupakan kelanjutan dari berbagai komitmen internasional untuk mendukung kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki, seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Komitmen internasional lainnya yang menjadi rujukan MDG’s adalah Deklarasi Dakar, tentang Kebijakan Pendidikan untuk Semua (Education for All), di mana Indonesia sebagai salah satu anggota UNESCO juga ikut meratifikasi.
Beberapa isi dari kesepakatan tersebut yang berkaitan dengan pendidikan dan kesetaraan gender adalah:
1.      Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak khususnya perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk etnik minoritas mempunyai akses dalam menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik.
2.      Mencapai perbaikan 50% pada tingkat literacy orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan bekelanjutan bagi semua orang dewasa.
3.      Menghapus disparitas gender di bidang pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan prestasi yang sama dalam pendidikan dasar yang berkualitas..
2.6    Problematika Gender dan Pendidikan
Dalam deklarasai hak-hak asasi manusia pasal 26 dinyatakan bahwa : “Setiap orang berhak mendapatkan pengajaran, pengajaran harus dengan cuma-cuma, setidaknya untuk sekolah rendah dan tingkat dasar. Pengajaran harus mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima serta rasa persahabatan antar semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan, serta harus memajukkan kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian dunia … “.
Terkait dengan deklarasi di atas, sesungguhnya ketika pendidikan bukan hanya dianggap dan dinyatakan sebagai sebuah unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat.
Statement di atas mengemukakan dikarenakan telah terjadi banyak ketimpangan gender di masyarakat yang diasumsikan muncul karena terdapat bias gender dalam pendidikan. Diantara aspek yang menunjukkan adanya bias gender dalam pendidikan dapat dilihat pada perumusan kurikulum dan juga rendahnya kualitas pendidikan. Implementasi kurikulum pendidikan sendiri terdapat dalam buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. Realitas yang ada, dalam kurikulum pendidikan (agama ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang menonjolkan laki-laki berada pada sektor publik sementara perempuan berada pada sektor domestik. Dengan kata lain, kurikulum yang memuat bahan ajar bagi siswa belum bernuansa neutral gender baik dalam gambar ataupun ilustrasi kalimat yang dipakai dalam penjelasan materi.
Rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada empat aspek yang disorot oleh Departemen Pendidikan Nasional mengenai permasalahan gender dalam dunia pendidikan yaitu akses, partisipasi, proses pembelaran dan penguasaan.
Yang dimaksud dengan aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya, banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
Faktor yang kedua adalah aspek partisipasi dimana tercakup di dalamnya factor bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, di mana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak-anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.
Menurut Menneg Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, bahwa sampai tahun 2002, rata-rata lama sekolah anak perempuan sekitar 6,5 tahun dibandingkan anak laki-laki sekitar 7,6 tahun. Hingga tahun 2003, penduduk perempuan buta aksara usia 15 tahun ke atas mencapai 13,84 persen. Sedangkan penduduk laki-laki usia 15 tahun ke atas yang buta huruf sebesar 6,52 persen. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin tinggi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Namun yang tak boleh dilupakan adalah, bahwa walaupun perempuan hanya bergerak di arena domestik dan tugasnya adalah mendidik anak dan menjaga kesejahteraan keluarga, ia tetap harus berilmu untuk tugas itu.
Stereotype gender yang berkembang di masyarakat kita yang telah mengkotak-kotakkan peran apa yang pantas bagi perempuan dan laki-laki.
Dalam pembangunan pendidikan masih terjadi gejala pemisahan gender (gender segregation) dali.ii jurusan atau program studi sebagai salah sum bentuk diskriminasi gender secara sukarela (voluntarily discrimination') ke dalam bidang keahlian dan selanjutnya pekerjaan yang berlainan. Hal ini disebabkan oleh nilai dan sikap yang dipengaruhi faktor-fdlctor sosial budaya masyarakat yang secara melembaga telah memisahkan gender ke dalam peran-peran sosial yang berlainan. Pemilihan jurusan-jurusan bagi anak perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi domestik, sementara itu anak diharapkan berperan dalam menopang ekonomi keluarga sehingga harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian ilmu keras, teknologi dan industri.
Sementara pada aspek ketiga yaitu aspek proses pembelajaran masih juga dipengaruhi oleh stereotype gender. Yang termasuk dalam proses pembelajaran adalah materi pendidikan, seperti misalnya yang terdapat dalam contoh-contoh soal dimana semua kepemilikan selalu mengatas namakan laki-laki. Dalam aspek proses pembelajaran ini bias gender juga terdapat dalam buku-buku pelajaran seperti misalnya semua jabatan formal dalam buku seperti Camat, Direktur digambarkan dijabat oleh laki-laki. Selain itu ilustrasi gambar juga bias gender,yang seolah-olah menggambarkan bahwa tugas wanita adalah sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas menjahit, memasak dan mencuci.
Aspek yang terakhir adalah aspek penguasaan. Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan.
Data BPS tahun 2003, menunjukkan dari jumlah penduduk buta aksara usia 10 tahun ke atas sebanyak 15.686.161 orang, 10.643.823 orang di antaranya atau 67,85 persen adalah perempuan.
Mungkin pada awalnya perempuan di Indonesia menguasai baca tulis, namun pemanfaatannya yang minim membuat mereka lupa lagi pada apa yang telah mereka pelajari. Kondisi ini secara tidak langsung juga mematikan akses masyarakat ke media hingga kemajuan peranan perempuan Indonesia banyak yang tidak terserap oleh masyarakat kita dan mereka tetap berpegang pada nilai-nilai lama yang tidak tereformasi.
Perempuan yang selalu di dorong untuk mengalah, bersikap lemah lembut dan menerima kepemimpinan dan bimbingan laki-laki membuat mereka selalu mempertanyakan persetujuan dari pihak laki-laki untuk kemajuan-kemajuan dan kesempatan-kesempatan yang mereka dapatkan. Betty mengatakan bahwa bukannya ia menyarankan untuk tidak bersikap kompromis dengan pihak suami atau laki-laki namun alasan untuk menolak atau menerima suatu kesempatan atau tawaran lebih baik bila di dasarkan pada keputusan yang matang dari kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan.
Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan domestic memang menjadi pekerjaan perempuan.
Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan para siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan ternyata sarat dengan bias gender.
Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
2.7 Membangun Pendidikan Berperspektif Gender di Sekolah
Jika sekolah memilih jalan untuk tidak sekadar menjadi pengawet atau penyangga nilai-nilai, tetapi penyeru pikiran-pikiran yang produktif dengan berkolaborasi dengan kebutuhan jaman, maka menjadi salah satu tugas sekolah untuk tidak membiarkan berlangsungnya ketidakadilan gender yang selama ini terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran palsu yang berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya ia harus bersikap kritis, mengajak masyarakat sekolah dan masyarakat di sekitarnya untuk mengubah/membongkar kepalsuan-kepalsuan tersebut. sekaligus mentransformasikannya menjadi praktik-praktik yang lebih berpihak kepada keadilan sesama, terutama keadilan bagi kaum perempuan.
2.8 Analisis Gender di Lembaga Sekolah
Untuk melakukan perubahan dalam suatu institusi pendidikan, kita tidak bisa melangkah berdasarkan asumsi-asumsi belaka, tetapi seyogyanya berdasarkan data-data yang lebih konkrit yang didapat dari pengamatan, penelitian dan analisis kiritis terhadap lembaga sekolah. Data-data inilah yang kemudian akan dijadikan patokan untuk melangkah dan mengambil keputusan-keputusan strategis dalam melakukan perubahan-perubahan yang dibutuhkan. Pengamatan itu hendaknya diarahkan pada elemen-elemen yang biasanya tergenderkan dalam sebuah organisasi atau lembaga, misalnya: ideology-ideologi dan tujuan-tujuannya, sistem nilai yang dikembangkannya, struktur-struktur yang dibangun, gaya manajemennya, pembagian tugas/pekerjaan, pengaturan/tata ruang kantornya, ungkapan-ungkapan, hubungan kekuasaaan, lambang-lambang yang digunakan dan lain sebagainya. Yang semua itu dapat memberi sinyal sejauh mana lembaga sekolah tergenderkan.
Pendidikan kesadaran gender memang tidak harus decreet, atau terpilah dari pembelajaran yang lain, tapi ia juga tidak bisa diperlakukan sebagai sampiran belaka. Pendidikan gender yang hanya disampirkan pada pembelajaran pembelajaran yang ada biasanya bersifat longgar dan mudah kehilangan arah. Kecuali itu karena miskin kontrol maka sangat mudah melemah, atau bahkan menghilang. Dengan memperlakukan pendidikan gender sebagai program yang khusus dan sekaligus menyebar atau terintegrasi dengan mata pelajaran yang lain, ia akan memiliki tanggung jawab dan kontrol yang lebih besar. Perlu ada tagihan-tagihan terhadap materi apa dan bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan, sehingga dapat dimunculkan evaluasi dan perbaikan-perbaikan secara terus menerus, hingga perspektif gender menjadi budaya masyarakat tersebut.
·           Guru/Pendidik sebagai Pilar
Guru/Pendidik/Kyai/Ustadz dan terutama lagi ustadzah/guru perempuan mesti menjadi pilar utama gender, karena gender merupakan ideologi yang sangat tampak pada perilaku dan perbuatan sehari-hari. Pada masyarakat sekolah yang pada umumnya masih menganut budaya paternalistik.  Dalam kondisi sedemikian, maka harus diupayakan guru mendapatkan akses terhadap dasar-dasar pengetahuan dan pendidikan gender terlebih dahulu, untuk membukakan pikiran dan nurani akan adanya persoalan tersebut. Karena persoalan gender merupakan persoalan budaya, maka pendidikan gender kepada guru ini mungkin tidak dapat dilaksanakan secara konfrontatif dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini pun dapat terkendali, seperti yang dikemukakan Nurcholis Majid dengan mengidentikkan peran guru di sekolah sama dengan kyai di dalam pesantren, manakala sang guru memiliki ketetapan yang sangat kuat untuk tidak mengubah sekolahnya untuk mengikuti perkembangan zaman, yang pada umumnya terjadi pada guru–guru yang sesungguhnya tidak memiliki kemampuan untuk mengikuti perkembangan ilmu. Jika Guru/Pendidik sudah mendapatkan akses yang cukup terhadap pengetahuan gender, maka komitmen yang sangat penting untuk dijadikan landasan membangun pendidikan gender akan jauh lebih mudah dicapai.
·           Metode dan Materi Pembelajaran
Seperti diketahui metode pembelajaran yang pada umumnya dilakukan oleh sekolah adalah metode pembelajaran yang lebih menekankan transmisi keilmuan klasik, yang memungkinkan adanya penerimaan ilmu secara bulat (taken for granted) yang tak terbantahkan, yang memberi ruang gerak yang sempit bagi adanya dialog dan diskusi kritis. Sementara itu, persoalan gender sarat dengan probematik-problematik kultural yang sulit diselesaikan tanpa adanya dialog dan diskusi-diskusi. Metode pembelajaran ini, jika diterapkan apa adanya, jelas tidak akan membuahkan hasil yang baik. Oleh sebab itu harus diupayakan kesempatan untuk terjadinya dialog dan diskusi-diskusi, agar konsep-konsep penting pendidikan gender dapat lebih mudah terserap oleh para siswa.
Karena kurikulum sekolah pada umumnya sudah mapan, dipandang sebagai “kitab kuning” (yang menurut beberapa penelitian justru mengandung problematika-problematika gender) sebagai materi pokok pembelajaran, maka harus ada terobosan-terobosan dalam penyampaiannya. Tanpa keterbukaan atau sikap yang mengakomodasi adanya penafsiran-penafsiran baru yang bersifat historis kritis, niscaya pendidikan gender juga tidak mungkin terwujud dalam kondisi seperti itu. Pendidikan gender yang tumbuh dalam mazhab pemikiran postrukturalis tidak bisa terlaksana tanpa adanya keterbukaan dan dialog dengan ilmu-ilmu lain secara interdisipliner.
Perlu dicatat bahwa pendidikan gender tidak serta merta mengharuskan ketersediaan materi ajar yang mutlak tidak bisa gender, karena kecuali sulit diwujudkan juga tidak mendorong tumbuh kembangnya pemikiran-pemikiran kritis yang justru akan menjadi tulang punggung kehidupan berkeadilan gender. Dari teks-teks atau contoh-contoh aktivitas yang bias gender yang ada di sekitar sekolah, siswa justru bisa diajak untuk meresapi konsep gender lewat contoh-contoh yang konkrit.
·      Bahasa bukan Persoalan Sepele
Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam pendidikan peka gender, karena ideologi mengejawantah di dalam bahasa, lewat pilihan kata, tekanan-tekanan, konstruksi kalimat atau ujaran yang digunakan dalam komunikasi baik tertulis maupun lisan. Bahasa yang dimaksud juga tidak terbatas pada bahasa verbal tetapi termasuk bahasa non verbal, bahasa tubuh seperti cara bersalaman, memberi penghormatan, memandang atau mengerling menyiratkan makna yang mengandung muatan gender. Menyepelekan peran bahasa dalam pendidikan peka gender sama dengan mengabaikan unsur penting dalam pendidikan.
·      Apa yang dapat dilakukan ?
Bagaimana usaha yang dilakukan mewujudkan keadilan gender? Keadilan dan kesetaraan gender dapat dipenuhi jika undang-undang dan hukum menjamin. Problem sekarang adalah tidak adanya jaminan dari negara untuk memperoleh kebebasan setiap insan tumbuh secara maksmal. Relasi gender tidak semata lahir dari kesadaran individu, tetapi juga bergantung pada faktor ekonomi, sosial dan lingkungan yang sehat dan dinamis.
Gender di era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk hak reproduksi. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama. Pendirian gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan pembebasan yang bertanggung jawab. Mendorong laki-laki dan perempuan untuk merubah tradisi pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam, manusia, agar diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa membedakan jenis kelamin.
Usaha untuk menghentikan bias gender terhadap seluruh aspek kehidupan antara lain dengan cara pemenuhan kebutuhan praktis gender (pratical gender needs). Kebutuhan ini bersifat jangka pendek dan mudah dikenali hasilnya. Namun usaha untuk melakukan pembongkaran bias gender harus dilakukan mulai dari rumah tangga dan pribadi masing-masing hingga sampai pada kebijakan pemerintah dan negara, tafsir agama bahkan epistimologi ilmu pengetahuan. Untuk itu berbagai aksi untuk menjawab tantangan strategis seperti melakukan kampanye, pendidikan kritis, advokasi untuk merubah kebijakan, tafsir ulang terhadap wacana keagamaan serta memberi ruang epistimologi perspektif feminis untuk memberikan makna terhadap realitas dunia perlu dlakukan Menjauh dari sikap pesimisme, maka dalam bidang pendidikan, hal berikut ini dapat dilakukan :
1. Meningkatkan Partisipasi Pendidikan, dengan meningkatkan akses dan daya tampung pendidikan, menurunkan angka putus sekolah siswa perempuan dan meningkatkan angka melanjutkan lulusan dengan memberikan perhatian khusus pada anak-anak dari lingkungan sosial ekonomi lemah dan anak-anak yang tinggal di daerah tertinggal. Upaya tersebut perlu didukung c!eh pelayananpelayanan terintegrasi untiik menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab serta membantu keluarga yang kurang mampu dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Berbagai upaya yang akan diiakukan dalam rangka menghapus kesenjangan gender perlu disesuaikan dengan situasi dan permasalahan masing-masing daerah atau wilayah dan dikoordinasikan bersama oleh seluruh stakeholder.
2. Meningkatkan kesadaran umum dan relevansi pendidikan melalui antara lain penyempurnaan kurikulum dan memperbaiki materi ajar yang lebih sensitif gender, peningkatan kualitas tenaga pendidik sehingga memiliki pemahaman yang memadai mengenai masalah gender dan bersikap sensitif gender dan menerapkannya dalam proses belajar mengajar.
3. Mengembangkan manajemen pendidikan sehingga responsif gender melalui antara lain pelaksanaan berbagai analisis kebijakan dan peraturan perundangan yang masih bias gender; penimusan dan penetapan kebijakan dan peraturan perundang-undangan pendidikan yang berwawasan gender; peningkatan kapasitas institusi pengelola pendidikan sehingga memiliki kemampuan merencanakan, menyusun kebijakan, strategi dan program pendidikan berwawasan gender secara efektif dan efisien; serta pengembangan pusat-pusat studi wanita dan penguatan pusat-pusat studi lainnya sebagai mitra pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan pendidikan berwawasan gender.
Tiga hal tersebut dapat dilaksanakan melalui lima strategi utama yaitu:
(1)   penyediaan akses pendidikan yang bermutu terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar sekolah;
(2)   Penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat mengikuti pendidikan persekolahan;
(3)   Peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan keaksaraan bagi penduduk dewasa terutama perempuan
(4)   Peningkatan koordinasi, informasi dan edukasi dalam rangka mengurusutamakan pendidikan berwawasan gender; dan
(5)   Pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan gender.
·      Keterlibatan Semua Pihak
Lalu apa yang dapat dilakukan terhadap fenomena bias gender dalam pendidikan ini? Keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih egaliter.
Kesetaraan gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua yang berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri.
Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan "aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru.
Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender.
                       






BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
      Dari pembahasan tentang pendidikan dan kesetaraan gender diatas, maka dapat disimpulkan:
a)      Gender mengacu pada peran sosial, tanggung jawab, dan  perilaku yang dibuat dalam keluarga kita, masyarakat kita dan budaya kita. Konsep gender juga mencakup harapan dipegang tentang karakteristik, bakat dan kemungkinan perilaku perempuan dan laki-laki (feminitas dan maskulinitas). Misalnya: "Pria sebagai berpenghasilan", dan "Perempuan sebagai pengasuh anak".
b)      Perbedaan gender melahirkan ketidakadilan (gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi ketidakadilan yang ada. Mansour Fakih membagi manifestasi ketimpangan gender dalam marginalisasi atau pemiskinan perempuan, subordinasi, stereotip, kekerasan, beban ganda dan sosialisasi ideologi nilai peran gender.
c)      Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan  perempuan untuk memperoleh  kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,  hukum, ekonomi, sosial budaya,  pendidikan dan pertahanan & keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.
3.2 Saran
Tentunya dalam penulisan makalah ini banyak terjadi kesalahan dan kekurangan, kami menyadari bahwa kami masih dalam proses belajar dan sedang menuju yang lebih baik. Oleh sebab itu dukungan saran dan kritik serta uluran maaf sangat kami harapkan demi kebaikan kita bersama.











DAFTAR PUSTAKA
Bainar (Ed.) 1998. Wacana Perempuan dalam keindonesiaan dan Kemodernan. Jakarta: Pustaka Cidesindo
Freire, Paulo dkk. 1999. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
O'Neil, William. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Macdonald, Mandy dkk. 1999. Gender dan Perubahan Organisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tholkhah, Imam dkk. 2004. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtID=179
http://www.cbe.or.id/comments.php?id=70_0_1_0_C http://www.duniaesai.com/gender/gender9.htm
http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=kesetaraan&dat=7, http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=menegpp&dat=92
http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=ArtikelUmum&op=detail_artikel&id=12http://joliekaban.wordpress.com/2006/08/18/belajar-analisis-gender-yuk/
http://www.dikmas.depdiknas.go.id/05-p-gender-pedoman.htm
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1121
http://artikel.us/agungharsiwi6-04-2.html
http://bz.blogfam.com/2006/05/menyoal_problematika_pendidika.html      
Pande, R., Malhotra A., dan C. Grown. 2005. "Dampak investasi di bidang pendidikan perempuan tentang gender Kertas kesetaraan. disajikan "di XXV IUSSP Konferensi Kependudukan Internasional, Tours, Perancis.
DeJaeghere, J. 2004. "Latar belakang kertas untuk workshop 1: dan pendidikan gender. Kesetaraan Kualitas" Kertas disajikan pada Konferensi Internasional tentang Pendidikan: Empat puluh tujuh Sesi, Jenewa.

About



Your source for the lifestyle news. This demo is crafted specifically to exhibit the use of the theme as a lifestyle site. Visit our main page for more demos.