BAB II
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan memegang
peranan yang sangat penting dan strategis dalam membentuk Sumber Daya Manusia
yang produktif, inovatif dan berkepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai
budaya.
Disamping memberikan
nilai-nilai kognitif, afektif dan psikomotorik kepada setiap warga negara,
pendidikan juga digunakan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai
yang diharapkan berguna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Negara menjamin bahwa
setiap warga negara (perempuan dan laki-laki) mempunyai kesamaan hak dan
kewajiban yang sama untuk memperoleh pendidikan, yang dituangkan dalam Pasal 31
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
Pemerintah Indonesia
telah meratifikasi Konvensi tentng Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan, melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 DAN Permendiknas
Nomor 84 Tahun 2008 sebagai bentuk komitmen negara terhadap berbagai bentuk
diskriminasi yang dialami perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
pendidikan. Komitmen tersebut diperkuat dengan penandatanganan Optional
Protocol to CEDAW oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 28 Februari
2000.
Pasal 27 Ayat 1 Undang
Undang Dasar 1945 (UUD 45) dengan tegas menyatakan bahwa semua warga negara
diperlakukan sama di hadapan hukum. Begitu pula dengan peraturan perundangan
lainnya yang telah mengakui adanya persamaan hak dan kedudukan antara laki-laki
dan perempuan. Hal ini diperkuat juga dengan telah diratifikasinya konvensi
mengenai Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tanggal
24 Juli 1984, melalui Undang Undang (UU) Nomor 80 tahun 1984. Hal tersebut
memperkuat komitmen Indonesia yang juga telah meratifikasi Konvensi
Internasional Labour Organization Nomor 100 tahun 1951, mengenai azas
pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan, melalui UU Nomor 80
tahun 1957. Selain itu melalui UU Nomor 68 tahun 1985 diuraikan tentang pengesahan
konvensi hak-hak politik kaum perempuan.
Perspektif gender
adalah cara pandang yang melihat dampak dari atribut gender seseorang pada
kemungkinan orang itu untuk membangun kesempatan, peran sosial, dan
interaksinya dengan atribut gender yang berlawanan. Hal ini berbeda dengan
perbedaan jenis kelamin yaitu perbedaan yang diakibatkan adanya unsur biologis
manusia, sedangkan perbedaan yang disebabkan oleh konstruksi sosial disebut
perbedaan gender (De Beauvoir, 1989).
Ketidaksetaraan dan
ketidaksensitifan gender tersebut telah menyebar luas di masyarakat atas
pengaruh budaya patriarki yang telah mengakar di masyarakat. Budaya tersebut
secara sadar ataupun tidak sadar disebarluaskan pula di dalam dunia pendidikan
yang mestinya menjunjung tinggi kesetaraan gender. Sebagai contoh, banyak buku
pelajaran di tingkat sekolah dasar hingga tingkat menengah memanipulasi citra
perempuan. Perempuan masih selalu digambarkan ada di lingkungan rumah tangga,
pekerjaannya hanyalah sebagai ibu rumah tangga yang bertugas memasak, menyapu,
mengasuh anak, dan belanja kebutuhan rumah tangga.
Keadaan di atas
menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan
baik bagi laki-laki maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti
membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai
pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang
ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan
masyarakat.
Bias gender ini tidak
hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran
di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu
atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas
domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak
anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Penanaman posisi yang
keliru tersebut (bias gender) terus diacu sebagai suatu hal yang wajar oleh
peserta didik perempuan (mahasiswi) maupun laki-laki (mahasiswa). Akibatnya,
ketidakadilan gender terus berlangsung di sekolah-sekolah hingga sekarang.
Kondisi ini tentu saja memprihatinkan dan menjadi perhatian di kalangan
pendidik sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah kondisi seperti ini juga terdapat
dalam buku-buku yang digunakan di perguruan tinggi? Untuk itu perlu dilakukan
kajian terhadap kesetaraan gender melalui pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
gender ?
2.
Mengapa konsep
Gender penting dalam pendidikan?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Mahasiswa
mengetahui pengertian Gender
2.
Mahasiswa
mengetahui pentingnya konsep gender dalam pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Gender
Gender menurut Oakley (1972) dalam Sex,
Gender dan Society berarti perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan
bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis jenis kelamin (sex) merupakan kodrat
Tuhan dan oleh karenanya secara permanen dan universal berbeda. Sementara
”gender” adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan
yang socially constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan
ciptaan Tuhan melainkan diciptakan oleh baik laki-laki dan perempuan melalui
proses sosial dan budaya yang panjang.
Sedangkan menurut Caplan (1987) dalam The
Cultural Construction of Sexuality menegaskan bahwa perbedaan perilaku
antara laki-laki dan perempuan selain biologis, sebagian besar justru terbentuk
melalui proses sosial dan cultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu
ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis
kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah.
Gender dalam pengertian ilmu social
diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang didasarkan pada ciri sosial
masing-masing. Tercakup didalamnya pembagian kerja, pola relasi kuasa,
perilaku, peralatan, bahasa, persepsi yang membedakan lelaki dengan perempuan
dan banyak lagi. Sebagai pranata sosial, gender bukan sesuatu yang baku dan tidak berlaku
universal. Artinya , berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain dan dari
satu waktu ke lainnya. Jadi, pola relasi gender di Yogyakarta misalnya sangat
berbeda dengan di Aceh, berbeda dengan di Saudi Arabia dan sebagainya. ( Wardah Hafidz, MA
: Pola relasi gender dan permasalahannya).
Gender mengacu pada
peran sosial, tanggung jawab, dan
perilaku yang dibuat dalam keluarga kita, masyarakat kita dan budaya
kita. Konsep gender juga mencakup harapan dipegang tentang karakteristik, bakat
dan kemungkinan perilaku perempuan dan laki-laki (feminitas dan maskulinitas).
Misalnya: "Pria sebagai berpenghasilan", dan "Perempuan sebagai
pengasuh anak".
Peran dan harapan yang
dipelajari dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini
tidak secara biologis telah ditentukan, juga bukan tetap selamanya mereka dapat berubah untuk mencapai ekuitas
dan kesetaraan untuk perempuan dan laki-laki.
Jadi, konsep gender ialah suatu sifat
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh masyarakat baik secara kultural
maupun sistemik. Misalnya perempuan secara kultural dikenal lemah lembut,
cantik, emosional atau keibuan, sedangkan laki-laki dikenal kuat, rasional
jantan dan perkasa. Perempuan juga sering mendapatkan stigma-stigma atau
label-label yang merugikan kaum perempuan dari masyarakat, misalnya : emosional,
tukang ngrumpi, tidak rasional, cerewet, pesolek, genit, dan penakut sehingga
beberapa pekerjaan atau posisi penting tidak diberikan kepada perempuan karena
takut gagal. Sementara itu, sesungguhnya keadaan seperti di atas biasanya
terjadi sebagai akibat dari ketidakadilan yang ditanggung oleh perempuan.
Perbedaan gender melahirkan
ketidakadilan (gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki dan
terutama bagi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi ketidakadilan
yang ada. Mansour Fakih membagi manifestasi ketimpangan gender dalam marginalisasi
atau pemiskinan perempuan, subordinasi, stereotip, kekerasan, beban ganda dan
sosialisasi ideologi nilai peran gender.
a. Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi.
Gelombang perdagangan bebas dikendalikan
oleh pemilik modal dengan serakah. Marginalisasi dan penindasan bagi kaum
mustadh’afin menjadi buruh yang dieksploitasi. Penindasan dan pemarginalan
terhadap kaum dhuafa’ dan masakin sering dilakukan oleh kelas-kelas dominan.
Pun, elit keagamaan menjadi bagian dari proses de-humanisasi. Isu perubahan
kerja yang adil harus jadi prioritas bagi elit keagamaan dengan semangat iman
dalam bentuk amal. Hal ini sesuai dengan anjuran Tuhan untuk selalu
berlomba-lomba dalam kebajikan. Kesalehan personal terhadap Tuhan tidak akan
mampu membendung arus penindasan dan marginalisasi oleh kelas
Dominasi terhadap kaum mustadh’afin sejatinya
kesalehan ini diwujudkan dalam interaksi dan sistem sosial dalam kehidupan
sehari-hari.. Bersandar pada realitas seperti itu, maka mengahadirkan agama
sebagai rahmatallil’alamin bagi seluruh umatnya menjadi sebuah keharusan untuk
menghadang dan membendung kemungkaran sosial.
b. Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan
politik.
Perampasan daya sosial mencakup
perampasan akses seperti informasi, pengetahuan, pengembangan keterampilan dan
potensi kolektif, serta partisipasi dalam organisasi dan sumber-sumber
keuangan. Perampasan daya politik meliputi perampasan akses individu pada
pengambilan keputusan politik, termasuk kemampuan memilih dan menyuarakan
aspirasi serta bertindak kolektif. Tekanan ini lebih merupakan akibat dari
operasi watak otoritarian rezim dan pendukung koersifnya. Kebisuan ini yang
harus dibongkar. Perampasan daya psikologis mencakup tekanan eksternal yang
menyebabkan hilangnya perasaan individual mengenai potensi dirinya dalam kancah
sosial-politik, sehingga individu itu tidak punya peluang untuk berpikir
kritis. Tekanan eksternal itu diinternalisasi si miskin menjadi kesadaran
palsu. Mereka percaya bahwa mereka miskin dan bodoh, tidak bisa apa-apa, selain
mengandalkan orang lain untuk mengubah keadaannya.
c. Pembentukan sterotipe atau pelabelan negatif.
Setereotipe yang dimaksud adalah citra baku tentang individu atau
kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negativ
secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang
berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap perempuan. Hal
ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang
merugikan kaum perempuan. Misalnya, pandangan terhadap perempuan yang tugas dan
fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik
atau kerumahtanggaan. Konsep gender ialah suatu sifat laki-laki dan perempuan
yang dikonstruksi oleh masyarakat baik secara kultural maupun sistemik.
Misalnya perempuan secara kultural dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau
keibuan, sedangkan laki-laki dikenal kuat, rasional jantan dan perkasa.
Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu dan
dari tempat ke tempat lain. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah
tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyarakat, bahkan di tingkat
pemerintah dan negara.
c. Kekerasan (violence).
Kekerasan tidak hanya menyangkut
serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga
yang bersifat non fisik, seperti pelecehan seksual sehingga secara emosional
terusik. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di
dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat
itu sendiri. Pelaku bisa saja suami, ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua,
anak laki-laki, tetangga, atau majikan.
d. Beban kerja yang panjang
dan lebih banyak (burden).
Bentuk lain dari diskriminasi dan
ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu
jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya
beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh
perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90%
dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain
bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
e. Sosialisasi ideologi nilai peran gender.
Yusuf Supiandi membeberkan bagaimana
ketidaksetaraan gender itu memberi pengaruh yang cukup besar terhadap
kemiskinan. Misalnya, investasi terhadap SDM, khususnya anak-anak dan perempuan
dalam pendidikan dan kesehatan. Perempuan yang berpendidikan dan mempunyai
kesehatan yang baik akan mempunyai kesempatan untuk aktif bekerja secara
produktif pada sektor-sektor formal serta akan menikmati pendapatan yang baik
dibanding dengan perempuan yang tidak punya pendidikan dan sakit-sakitan.
Selain itu, perempuan yang punya pendidikan akan memberikan perhatian yang
lebih besar pada anak-anaknya yang merupakan investasi bagi masa depan
anak-anak.
Studi–studi tentang gender saat ini
melihat bahwa ketimpangan gender terjadi akibat rendahnya kualitas sumber daya
kaum perempuan sendiri, dan hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan mereka
bersaing dengan kaum lelaki. Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan adalah
mendidik kaum perempuan dan mengajak mereka berperan serta dalam pembangunan.
Namun kenyataannya proyek-proyek peningkatan peran serta perempuan agak salah
arah dan justru mengakibatkan beban yang berganda-ganda bagi perempuan tanpa
hasil yang memang menguatkan kedudukan perempuan sendiri.
Ketimpangan gender seperti tersebut di
atas seringkali amat sulit untuk diperkarakan karena berbagai hal sebagai berikut:
v Anggapan umum bahwa aktivitas/peran gender adalah kodrat, sehingga
ketika kita mempersoalkannya maka itu dianggap sebagai melawan kodrat atau
kepercayaan, yang sifatnya tentu sangat privat.
v Beberapa perempuan sendiri tidak menyadari adanya ketimpangan
gender karena telah lama mengadopsi ideologi patriarki yang terlanjur mendarah
daging. Mereka lega-lila , ikhlas pasrah terhadap ideology yang
menempatkan mereka sebagai kaum kedua, dan menerima kekerasan atau penindasan
sebagai kewajiban atau kodrat mereka. Banyak perempuan rela dan menikmati
posisi sebagai alat jaja atau objek keinginan patriarki.
Aparat ideologi yang tumbuh dalam
struktur masyarakat kita, baik yang berwujud tokoh, kegiatan maupun teks masih
bernafaskan patriarki: sekolah, sekolah, sastra, buku-buku sekolah, media massa, awak media, hukum,
dai, dsb. Media massa
yang mestinya tidak hanya berfungsi sebagai reflektor dari kenyataan sosial
tetapi juga agent of change yang diharapkan menjadi konstruktor ideologi
perubahan, ternyata justru menjadi pelestari ideologi patriarki. Banyak media
yang masih melestarikan konsep feminitas tradisional yang menempatkan perempuan
di wilayah domestik melulu atau membebani perempuan dengan beban ganda. Mereka
juga ikut serta melecehkan perempuan karena seringkali menggunakan perempuan
sebagai komoditas atau alat jaja. Seringkali teks mempledoi pemerkosa dan
mengorbankan korban dan atau mengisntruksikan kembali konsep the glory of
suffering atau pemuliaan pengorbanan bagi perempuan. Bahkan media massa yang mengklaim sebagai media massa perempuan, tidak luput dari ideologi
patriarki yang amat sering ditunggangi pula oleh ideologi kapitalisme. Film,
telenovela, sinetron, komik atau novel yang banyak ditonton kaum perempuan juga
telah ikut serta melestarikan konsep-konsep tersebut di atas, sehingga
kebenaran patriarki dikukuhkan kembali melalui teks yang merka renungi.
2.2 Kesetaraan Gender
Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia,
agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan & keamanan
nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.
Kesetaraan gender juga,
·
Memperhatikan
dan menghargai berbedaan sifat, sikap, aspirasi, dan kebutuhan laki-laki dan perempuan.
·
Hak,
kesempatan, dan tanggung jawab tidak tergantung pada apakah mereka lahir
sebagai laki-laki atau perempuan.
·
Bebas
mengembangkan ketrampilan dan menentukan pilihan tanpa dibatasi oleh stereotipe,
serta aturan-aturan yang kaku maupun bias gender.
·
Laki-laki
dan perempuan bisa hidup dalam kesetaraan guna memenuhi tuntutan hidup.
·
Kesetaraan
gender bukan berarti jumlah laki-laki dan perempuan harus sama dalam setiap
kegiatan.
·
Bukan
berarti memperlakukan laki-laki dan perempuan sama persis.
·
Tidak
sama dengan feminisme atau perempuan.
2.3
Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Memastikan kesetaraan gender
untuk anak perempuan dan anak laki-laki berarti bahwa mereka memiliki
kesempatan yang sama untuk memasuki sekolah, serta untuk berpartisipasi dalam,
dan manfaat dari berbagai mata pelajaran atau pengalaman belajar lain yang
ditawarkan dalam ruang kelas dan sekolah. Melalui sensitif gender kurikulum,
bahan belajar, dan belajar-mengajar proses, anak perempuan dan anak laki-laki
menjadi sama dilengkapi dengan keterampilan hidup dan sikap bahwa mereka akan
perlu mencapai potensi mereka sepenuhnya, dalam dan luar sistem pendidikan,
tanpa memandang jenis kelamin mereka.
Selama anak perempuan
tidak memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, kesetaraan gender hanyalah
mimpi. Tapi di luar hanya memiliki akses yang sama terhadap pendidikan,
kesetaraan gender benar berarti bahwa sekolah adalah lingkungan yang peka-gender
yang mempromosikan partisipasi yang setara dan pemberdayaan.
Kesetaraan gender
membutuhkan beradaptasi sama dengan kebutuhan dan kepentingan perempuan dan
anak laki-laki, menciptakan lingkungan sekolah yang bersahabat untuk kedua
jenis kelamin dan memastikan bahwa perempuan sama-sama terwakili dalam
mengajar, peran kepemimpinan administratif dan pendidikan.
Persamaan kesetaraan
gender adalah satu kuat. Dengan menggabungkan hak untuk pendidikan dengan hak
dalam pendidikan, kita dapat mencapai hak-hak melalui pendidikan. Memang,
kesetaraan gender merupakan strategi penting untuk mengakhiri diskriminasi dan
mencapai keadilan di masyarakat. Banyak laki-laki mengatakan, sungguh tidak
mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang berlebihan
terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa. Ketika
seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih
besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu.
Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak memperlihatkan
kekhawatiran dan ketidakberdayaannya. Ini menjadi beban yang sangat berat bagi
anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya.
Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip
perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah.
Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya
maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban
tersendiri pula bagi perempuan.
Keadaan
di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya
merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Membicarakan gender tidak
berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan
sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan
yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan
kepercayaan masyarakat.
Bias gender ini tidak
hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran
di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu
atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas
domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak
anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Pendidikan di sekolah
dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang
menjadi pegangan para siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias
Gender dalam Pendidikan ternyata sarat dengan bias gender. Dalam buku ajar
misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak
mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu
laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang
"hanya" dimiliki oleh laki-laki. Sementara gambar guru yang sedang
mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas
mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya
lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya
laki-laki.
Dalam rumusan kalimat
pun demikian. Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu
Suci", "Ayah membaca Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan
sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih
sering ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang
disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat
feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik
bagi laki-laki.
Demikian pula dalam
perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas.
Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan
"Masak laki-laki menangis? Laki-laki nggak boleh cengeng". Sebaliknya
ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan
mengatakan "anak perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini
memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis dan
hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya. Dalam upacara
bendera di sekolah selalu bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa
perempuan. Siswa perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian
tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat nasional.
Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu
menempatkan dua perempuan sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum
pernah terjadi dalam sejarah laki-laki yang membawa bendera pusaka itu.
Hal ini menanamkan
pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan
seperti membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalam upacara
resmi sudah selayaknya menjadi tugas perempuan. Semuanya ini mengajarkan kepada
siswa tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa
yang layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan.
Bias gender yang
berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa
atau anak perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan
untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki diarahkan
untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran
sosial mereka di masa datang.
Singkatnya, ada
aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan
laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu
adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan
disebut banci, penakut atau bukan laki-laki sejati.
William Pollacek dalam
Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional
lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia
sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun
belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya. Penyebabnya adalah pertama,
ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak
menangis, tidak lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan
dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap
masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak
laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus melakukannya jika tidak
ingin dijuluki sebagai "anak mami".
Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa
siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima hukuman, gagal studi,
dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak
mempunyai persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di
kelas. Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada
tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa mereka tidak memiliki pilihan
untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh
kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi
suatu objek yang diinginkan oleh laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu
berkaitan dengan tubuhnya. Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang
mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah putih nan
cantik, kulit halus, dan lain-lain. Tidak heran jika semakin banyak anak
perempuan mengusahakan penampilan sempurna bak peragawati dengan cara-cara yang
justru merusak tubuhnya. Padahal, di sekolah, siswa perempuan umumnya memiliki
prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan laki-laki. Situasi
dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak membaca buku.
2.4 Pentingnya
Konsep Gender Dalam Pendidikan
Melihat pendidikan
melalui "lensa gender", pelayanan pejabat, guru, orang tua, dan
sering perempuan dan anak laki-laki mungkin tidak berpikir bahwa mereka bias
dalam hal gender, dan mereka mungkin sangat benar karena ini adalah apa yang mereka
percaya. Sulit untuk melihat "masalah" ketika telah menjadi mendarah
daging, bagian normal dari kehidupan mereka. Tapi meminta seperti pertanyaan:
"Apa yang akan terjadi jika gadis diajarkan bagaimana membangun radio dan
anak laki-laki diajarkan cara menjahit?" Dapat menyebabkan individu untuk
mencerminkan kembali dan melihat lebih dekat pada asumsi mereka sendiri. Kita
bisa mulai melihat bagaimana peran tradisional jender dan norma-norma dapat
mempengaruhi apa dan bagaimana anak-anak kita belajar.
Konsep gender itu
sangat penting, karena menuntun kita untuk memahami bahwa baik pria maupun
wanita, anak laki-laki dan perempuan melakukan peran yang berbeda dan memiliki
berbeda pengalaman, pengetahuan, bakat dan kebutuhan. Hanya melalui pemahaman,
perbedaan-perbedaan yang pendidikan kebijakan, program dan proyek dapat
mengidentifikasi dan memadai memenuhi yang berbeda dan beragam pembelajaran dan
pelatihan kebutuhan pria dan wanita, anak laki-laki dan gadis-gadis. Penggunaan
strategis pengetahuan yang berbeda dan ketrampilan yang dimiliki oleh keduanya
adalah kunci untuk mencapai gender kesetaraan dan menyadari manusia penuh oleh hak-hak
mereka.
2.5 Tujuan Kesetaraan Gender
Menyatukan sudut pandang yang responsif
gender sebagai strategi untuk mengurangi dan atau menghapus kesenjangan gender
dalam kebijakan dan program pembangunan.
Sebagai bagian dari komitmen global, Pemerintah Indonesia
juga mendukung semua kesepakatan Millenium Development Goals (MDG’s) yang
dideklarasikan pada tahun 2000.
Komitmen MDG’s merupakan kelanjutan dari berbagai
komitmen internasional untuk mendukung kesetaraan dan keadilan antara
perempuan dan laki-laki, seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan.
Komitmen internasional lainnya yang menjadi rujukan
MDG’s adalah Deklarasi Dakar, tentang Kebijakan
Pendidikan untuk Semua (Education for All), di mana Indonesia sebagai salah satu
anggota UNESCO juga ikut meratifikasi.
Beberapa isi dari kesepakatan tersebut yang
berkaitan dengan pendidikan dan kesetaraan gender adalah:
1.
Menjamin
bahwa menjelang tahun 2015 semua anak khususnya perempuan, anak-anak dalam
keadaan sulit dan mereka yang termasuk etnik minoritas mempunyai akses dalam
menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik.
2.
Mencapai
perbaikan 50% pada tingkat literacy orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama
bagi kaum perempuan dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan bekelanjutan
bagi semua orang dewasa.
3.
Menghapus
disparitas gender di bidang pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2015
dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan prestasi yang
sama dalam pendidikan dasar yang berkualitas..
2.6
Problematika Gender dan Pendidikan
Dalam deklarasai hak-hak asasi manusia
pasal 26 dinyatakan bahwa : “Setiap orang berhak mendapatkan pengajaran,
pengajaran harus dengan cuma-cuma, setidaknya untuk sekolah rendah dan tingkat
dasar. Pengajaran harus mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima
serta rasa persahabatan antar semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan, serta
harus memajukkan kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian dunia … “.
Terkait dengan deklarasi di atas,
sesungguhnya ketika pendidikan bukan hanya dianggap dan dinyatakan sebagai
sebuah unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk
atau konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil
bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat.
Statement di atas mengemukakan
dikarenakan telah terjadi banyak ketimpangan gender di masyarakat yang
diasumsikan muncul karena terdapat bias gender dalam pendidikan. Diantara aspek
yang menunjukkan adanya bias gender dalam pendidikan dapat dilihat pada
perumusan kurikulum dan juga rendahnya kualitas pendidikan. Implementasi
kurikulum pendidikan sendiri terdapat dalam buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah.
Realitas yang ada, dalam kurikulum pendidikan (agama ataupun umum) masih
terdapat banyak hal yang menonjolkan laki-laki berada pada sektor publik
sementara perempuan berada pada sektor domestik. Dengan kata lain, kurikulum
yang memuat bahan ajar bagi siswa belum bernuansa neutral gender baik dalam
gambar ataupun ilustrasi kalimat yang dipakai dalam penjelasan materi.
Rendahnya kualitas pendidikan
diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada empat aspek yang
disorot oleh Departemen Pendidikan Nasional mengenai permasalahan gender dalam
dunia pendidikan yaitu akses, partisipasi, proses pembelaran dan penguasaan.
Yang dimaksud dengan aspek akses adalah
fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya, banyak sekolah dasar di
tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan
SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan
seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk
mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua
segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan
kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’
tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan
pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari
faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku
sekolah.
Faktor yang kedua adalah aspek
partisipasi dimana tercakup di dalamnya factor bidang studi dan statistik
pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, di mana terdapat
sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di
arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh
kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan
bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus
didahulukan untuk sekolah adalah anak-anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan
dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia
harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.
Menurut Menneg Pemberdayaan Perempuan,
Meutia Hatta, bahwa sampai tahun 2002, rata-rata lama sekolah anak perempuan
sekitar 6,5 tahun dibandingkan anak laki-laki sekitar 7,6 tahun. Hingga tahun
2003, penduduk perempuan buta aksara usia 15 tahun ke atas mencapai 13,84
persen. Sedangkan penduduk laki-laki usia 15 tahun ke atas yang buta huruf
sebesar 6,52 persen. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin tinggi kesenjangan
antara laki-laki dan perempuan. Namun yang tak boleh dilupakan adalah, bahwa
walaupun perempuan hanya bergerak di arena domestik dan tugasnya adalah
mendidik anak dan menjaga kesejahteraan keluarga, ia tetap harus berilmu untuk
tugas itu.
Stereotype gender yang berkembang di
masyarakat kita yang telah mengkotak-kotakkan peran apa yang pantas bagi
perempuan dan laki-laki.
Dalam pembangunan pendidikan masih
terjadi gejala pemisahan gender (gender segregation) dali.ii jurusan
atau program studi sebagai salah sum bentuk diskriminasi gender secara sukarela
(voluntarily discrimination') ke dalam bidang keahlian dan selanjutnya
pekerjaan yang berlainan. Hal ini disebabkan oleh nilai dan sikap yang
dipengaruhi faktor-fdlctor sosial budaya masyarakat yang secara melembaga telah
memisahkan gender ke dalam peran-peran sosial yang berlainan. Pemilihan
jurusan-jurusan bagi anak perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi domestik,
sementara itu anak diharapkan berperan dalam menopang ekonomi keluarga sehingga
harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian ilmu keras, teknologi dan
industri.
Sementara pada aspek ketiga yaitu aspek
proses pembelajaran masih juga dipengaruhi oleh stereotype gender. Yang
termasuk dalam proses pembelajaran adalah materi pendidikan, seperti misalnya
yang terdapat dalam contoh-contoh soal dimana semua kepemilikan selalu mengatas
namakan laki-laki. Dalam aspek proses pembelajaran ini bias gender juga
terdapat dalam buku-buku pelajaran seperti misalnya semua jabatan formal dalam
buku seperti Camat, Direktur digambarkan dijabat oleh laki-laki. Selain itu
ilustrasi gambar juga bias gender,yang seolah-olah menggambarkan bahwa tugas
wanita adalah sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas menjahit, memasak dan
mencuci.
Aspek yang terakhir adalah aspek
penguasaan. Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum
perempuan.
Data BPS tahun 2003, menunjukkan dari
jumlah penduduk buta aksara usia 10 tahun ke atas sebanyak 15.686.161 orang,
10.643.823 orang di antaranya atau 67,85 persen adalah perempuan.
Mungkin pada awalnya perempuan di Indonesia
menguasai baca tulis, namun pemanfaatannya yang minim membuat mereka lupa lagi
pada apa yang telah mereka pelajari. Kondisi ini secara tidak langsung juga
mematikan akses masyarakat ke media hingga kemajuan peranan perempuan Indonesia
banyak yang tidak terserap oleh masyarakat kita dan mereka tetap berpegang pada
nilai-nilai lama yang tidak tereformasi.
Perempuan yang selalu di dorong untuk
mengalah, bersikap lemah lembut dan menerima kepemimpinan dan bimbingan
laki-laki membuat mereka selalu mempertanyakan persetujuan dari pihak laki-laki
untuk kemajuan-kemajuan dan kesempatan-kesempatan yang mereka dapatkan. Betty
mengatakan bahwa bukannya ia menyarankan untuk tidak bersikap kompromis dengan
pihak suami atau laki-laki namun alasan untuk menolak atau menerima suatu
kesempatan atau tawaran lebih baik bila di dasarkan pada keputusan yang matang
dari kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan.
Bias gender ini tidak hanya berlangsung
dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah,
tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau
pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik
seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak
bahwa pekerjaan domestic memang menjadi pekerjaan perempuan.
Pendidikan di sekolah dengan komponen
pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan para
siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan
ternyata sarat dengan bias gender.
Keadaan di atas menunjukkan adanya
ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki
maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang
menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran,
kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat
berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
2.7 Membangun Pendidikan Berperspektif Gender di Sekolah
Jika sekolah memilih jalan untuk tidak
sekadar menjadi pengawet atau penyangga nilai-nilai, tetapi penyeru
pikiran-pikiran yang produktif dengan berkolaborasi dengan kebutuhan jaman,
maka menjadi salah satu tugas sekolah untuk tidak membiarkan berlangsungnya
ketidakadilan gender yang selama ini terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran
palsu yang berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya ia harus bersikap kritis,
mengajak masyarakat sekolah dan masyarakat di sekitarnya untuk
mengubah/membongkar kepalsuan-kepalsuan tersebut. sekaligus
mentransformasikannya menjadi praktik-praktik yang lebih berpihak kepada
keadilan sesama, terutama keadilan bagi kaum perempuan.
2.8 Analisis Gender di Lembaga Sekolah
Untuk melakukan perubahan dalam suatu
institusi pendidikan, kita tidak bisa melangkah berdasarkan asumsi-asumsi
belaka, tetapi seyogyanya berdasarkan data-data yang lebih konkrit yang didapat
dari pengamatan, penelitian dan analisis kiritis terhadap lembaga sekolah.
Data-data inilah yang kemudian akan dijadikan patokan untuk melangkah dan
mengambil keputusan-keputusan strategis dalam melakukan perubahan-perubahan
yang dibutuhkan. Pengamatan itu hendaknya diarahkan pada elemen-elemen yang
biasanya tergenderkan dalam sebuah organisasi atau lembaga, misalnya:
ideology-ideologi dan tujuan-tujuannya, sistem nilai yang dikembangkannya,
struktur-struktur yang dibangun, gaya
manajemennya, pembagian tugas/pekerjaan, pengaturan/tata ruang kantornya,
ungkapan-ungkapan, hubungan kekuasaaan, lambang-lambang yang digunakan dan lain
sebagainya. Yang semua itu dapat memberi sinyal sejauh mana lembaga sekolah
tergenderkan.
Pendidikan kesadaran gender memang tidak
harus decreet, atau terpilah dari pembelajaran yang lain, tapi ia juga
tidak bisa diperlakukan sebagai sampiran belaka. Pendidikan gender yang hanya
disampirkan pada pembelajaran pembelajaran yang ada biasanya bersifat longgar
dan mudah kehilangan arah. Kecuali itu karena miskin kontrol maka sangat mudah
melemah, atau bahkan menghilang. Dengan memperlakukan pendidikan gender sebagai
program yang khusus dan sekaligus menyebar atau terintegrasi dengan mata
pelajaran yang lain, ia akan memiliki tanggung jawab dan kontrol yang lebih
besar. Perlu ada tagihan-tagihan terhadap materi apa dan bagaimana proses
pembelajaran yang dilakukan, sehingga dapat dimunculkan evaluasi dan
perbaikan-perbaikan secara terus menerus, hingga perspektif gender menjadi
budaya masyarakat tersebut.
·
Guru/Pendidik
sebagai Pilar
Guru/Pendidik/Kyai/Ustadz dan terutama
lagi ustadzah/guru perempuan mesti menjadi pilar utama gender, karena gender
merupakan ideologi yang sangat tampak pada perilaku dan perbuatan sehari-hari.
Pada masyarakat sekolah yang pada umumnya masih menganut budaya paternalistik. Dalam kondisi sedemikian, maka harus
diupayakan guru mendapatkan akses terhadap dasar-dasar pengetahuan dan
pendidikan gender terlebih dahulu, untuk membukakan pikiran dan nurani akan
adanya persoalan tersebut. Karena persoalan gender merupakan persoalan budaya,
maka pendidikan gender kepada guru ini mungkin tidak dapat dilaksanakan secara
konfrontatif dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini pun dapat terkendali,
seperti yang dikemukakan Nurcholis Majid dengan mengidentikkan peran guru di
sekolah sama dengan kyai di dalam pesantren, manakala sang guru memiliki
ketetapan yang sangat kuat untuk tidak mengubah sekolahnya untuk mengikuti
perkembangan zaman, yang pada umumnya terjadi pada guru–guru yang sesungguhnya
tidak memiliki kemampuan untuk mengikuti perkembangan ilmu. Jika Guru/Pendidik
sudah mendapatkan akses yang cukup terhadap pengetahuan gender, maka komitmen
yang sangat penting untuk dijadikan landasan membangun pendidikan gender akan
jauh lebih mudah dicapai.
·
Metode
dan Materi Pembelajaran
Seperti diketahui metode pembelajaran
yang pada umumnya dilakukan oleh sekolah adalah metode pembelajaran yang lebih
menekankan transmisi keilmuan klasik, yang memungkinkan adanya penerimaan ilmu
secara bulat (taken for granted) yang tak terbantahkan, yang memberi
ruang gerak yang sempit bagi adanya dialog dan diskusi kritis. Sementara itu,
persoalan gender sarat dengan probematik-problematik kultural yang sulit
diselesaikan tanpa adanya dialog dan diskusi-diskusi. Metode pembelajaran ini,
jika diterapkan apa adanya, jelas tidak akan membuahkan hasil yang baik. Oleh
sebab itu harus diupayakan kesempatan untuk terjadinya dialog dan
diskusi-diskusi, agar konsep-konsep penting pendidikan gender dapat lebih mudah
terserap oleh para siswa.
Karena kurikulum sekolah pada umumnya
sudah mapan, dipandang sebagai “kitab kuning” (yang menurut beberapa
penelitian justru mengandung problematika-problematika gender) sebagai materi
pokok pembelajaran, maka harus ada terobosan-terobosan dalam penyampaiannya.
Tanpa keterbukaan atau sikap yang mengakomodasi adanya penafsiran-penafsiran
baru yang bersifat historis kritis, niscaya pendidikan gender juga tidak
mungkin terwujud dalam kondisi seperti itu. Pendidikan gender yang tumbuh dalam
mazhab pemikiran postrukturalis tidak bisa terlaksana tanpa adanya keterbukaan
dan dialog dengan ilmu-ilmu lain secara interdisipliner.
Perlu dicatat bahwa pendidikan gender
tidak serta merta mengharuskan ketersediaan materi ajar yang mutlak tidak bisa
gender, karena kecuali sulit diwujudkan juga tidak mendorong tumbuh kembangnya
pemikiran-pemikiran kritis yang justru akan menjadi tulang punggung kehidupan
berkeadilan gender. Dari teks-teks atau contoh-contoh aktivitas yang bias
gender yang ada di sekitar sekolah, siswa justru bisa diajak untuk meresapi
konsep gender lewat contoh-contoh yang konkrit.
· Bahasa bukan Persoalan Sepele
Bahasa merupakan unsur yang sangat
penting dalam pendidikan peka gender, karena ideologi mengejawantah di dalam
bahasa, lewat pilihan kata, tekanan-tekanan, konstruksi kalimat atau ujaran
yang digunakan dalam komunikasi baik tertulis maupun lisan. Bahasa yang
dimaksud juga tidak terbatas pada bahasa verbal tetapi termasuk bahasa non
verbal, bahasa tubuh seperti cara bersalaman, memberi penghormatan, memandang
atau mengerling menyiratkan makna yang mengandung muatan gender. Menyepelekan
peran bahasa dalam pendidikan peka gender sama dengan mengabaikan unsur penting
dalam pendidikan.
· Apa yang dapat dilakukan ?
Bagaimana usaha yang dilakukan
mewujudkan keadilan gender? Keadilan dan kesetaraan gender dapat dipenuhi jika
undang-undang dan hukum menjamin. Problem sekarang adalah tidak adanya jaminan
dari negara untuk memperoleh kebebasan setiap insan tumbuh secara maksmal.
Relasi gender tidak semata lahir dari kesadaran individu, tetapi juga
bergantung pada faktor ekonomi, sosial dan lingkungan yang sehat dan dinamis.
Gender di era global berkaitan dengan
kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan
termasuk hak reproduksi. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghubungkan
semua konsep gender untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama. Pendirian
gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan pembebasan yang
bertanggung jawab. Mendorong laki-laki dan perempuan untuk merubah tradisi
pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam, manusia, agar
diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa membedakan jenis
kelamin.
Usaha untuk menghentikan bias gender
terhadap seluruh aspek kehidupan antara lain dengan cara pemenuhan kebutuhan
praktis gender (pratical gender needs). Kebutuhan ini bersifat jangka pendek
dan mudah dikenali hasilnya. Namun usaha untuk melakukan pembongkaran bias
gender harus dilakukan mulai dari rumah tangga dan pribadi masing-masing hingga
sampai pada kebijakan pemerintah dan negara, tafsir agama bahkan epistimologi
ilmu pengetahuan. Untuk itu berbagai aksi untuk menjawab tantangan strategis
seperti melakukan kampanye, pendidikan kritis, advokasi untuk merubah
kebijakan, tafsir ulang terhadap wacana keagamaan serta memberi ruang epistimologi
perspektif feminis untuk memberikan makna terhadap realitas dunia perlu
dlakukan Menjauh dari sikap pesimisme, maka dalam bidang pendidikan, hal
berikut ini dapat dilakukan :
1. Meningkatkan
Partisipasi Pendidikan, dengan meningkatkan akses dan daya tampung
pendidikan, menurunkan angka putus sekolah siswa perempuan dan meningkatkan
angka melanjutkan lulusan dengan memberikan perhatian khusus pada anak-anak
dari lingkungan sosial ekonomi lemah dan anak-anak yang tinggal di daerah
tertinggal. Upaya tersebut perlu didukung c!eh
pelayananpelayanan terintegrasi untiik menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab
serta membantu keluarga yang kurang mampu dalam memberikan pendidikan kepada
anak-anaknya. Berbagai upaya yang akan diiakukan dalam rangka menghapus kesenjangan
gender perlu disesuaikan dengan situasi dan permasalahan masing-masing daerah
atau wilayah dan dikoordinasikan bersama oleh seluruh stakeholder.
2. Meningkatkan kesadaran umum dan
relevansi pendidikan melalui antara lain penyempurnaan kurikulum dan
memperbaiki materi ajar yang lebih sensitif gender, peningkatan kualitas tenaga
pendidik sehingga memiliki pemahaman yang memadai mengenai masalah gender dan
bersikap sensitif gender dan menerapkannya dalam proses belajar mengajar.
3. Mengembangkan manajemen pendidikan
sehingga responsif gender melalui antara lain pelaksanaan berbagai analisis
kebijakan dan peraturan perundangan yang masih bias gender; penimusan dan
penetapan kebijakan dan peraturan perundang-undangan pendidikan yang berwawasan
gender; peningkatan kapasitas institusi pengelola pendidikan sehingga memiliki
kemampuan merencanakan, menyusun kebijakan, strategi dan program pendidikan
berwawasan gender secara efektif dan efisien; serta pengembangan pusat-pusat
studi wanita dan penguatan pusat-pusat studi lainnya sebagai mitra pemerintah
pusat dan daerah dalam pembangunan pendidikan berwawasan gender.
Tiga hal tersebut dapat dilaksanakan melalui lima strategi utama yaitu:
(1)
penyediaan
akses pendidikan yang bermutu terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak
laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan
luar sekolah;
(2)
Penyediaan
akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat
mengikuti pendidikan persekolahan;
(3)
Peningkatan
penyediaan pelayanan pendidikan keaksaraan bagi penduduk dewasa terutama
perempuan
(4)
Peningkatan
koordinasi, informasi dan edukasi dalam rangka mengurusutamakan pendidikan
berwawasan gender; dan
(5)
Pengembangan
kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai
pendidikan berwawasan gender.
·
Keterlibatan
Semua Pihak
Lalu
apa yang dapat dilakukan terhadap fenomena bias gender dalam pendidikan ini?
Keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan bagi terwujudnya kehidupan yang
lebih egaliter.
Kesetaraan
gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga.
Ayah dan ibu yang saling melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik
bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan berbagai persoalan
keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi,
orang tua yang berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak
baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri.
Memang
tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap
anak perempuan dan laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh
masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan "aturan anak
perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka
mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu melahirkan ketidakadilan baik bagi anak
perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan
gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai
pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan
terutama guru.
Dalam
hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah
berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat
menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses
pembelajaran yang peka gender.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
pembahasan tentang pendidikan dan kesetaraan gender diatas, maka dapat
disimpulkan:
a)
Gender mengacu
pada peran sosial, tanggung jawab, dan
perilaku yang dibuat dalam keluarga kita, masyarakat kita dan budaya
kita. Konsep gender juga mencakup harapan dipegang tentang karakteristik, bakat
dan kemungkinan perilaku perempuan dan laki-laki (feminitas dan maskulinitas).
Misalnya: "Pria sebagai berpenghasilan", dan "Perempuan sebagai
pengasuh anak".
b)
Perbedaan
gender melahirkan ketidakadilan (gender inequalities) baik bagi kaum
laki-laki dan terutama bagi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi
ketidakadilan yang ada. Mansour Fakih membagi manifestasi ketimpangan gender
dalam marginalisasi atau pemiskinan perempuan, subordinasi, stereotip,
kekerasan, beban ganda dan sosialisasi ideologi nilai peran gender.
c)
Kesamaan
kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan serta
hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial
budaya, pendidikan dan pertahanan &
keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.
3.2
Saran
Tentunya dalam penulisan makalah ini banyak terjadi kesalahan dan
kekurangan, kami menyadari bahwa kami masih dalam proses belajar dan sedang
menuju yang lebih baik. Oleh sebab itu dukungan saran dan kritik serta uluran
maaf sangat kami harapkan demi kebaikan kita bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Bainar (Ed.) 1998. Wacana Perempuan dalam keindonesiaan dan
Kemodernan. Jakarta:
Pustaka Cidesindo
Freire, Paulo dkk. 1999. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
O'Neil, William. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Macdonald, Mandy dkk. 1999. Gender dan Perubahan Organisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tholkhah, Imam dkk. 2004. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtID=179
http://www.cbe.or.id/comments.php?id=70_0_1_0_C
http://www.duniaesai.com/gender/gender9.htm
http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=ArtikelUmum&op=detail_artikel&id=12http://joliekaban.wordpress.com/2006/08/18/belajar-analisis-gender-yuk/
http://www.dikmas.depdiknas.go.id/05-p-gender-pedoman.htm
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1121
http://artikel.us/agungharsiwi6-04-2.html
http://bz.blogfam.com/2006/05/menyoal_problematika_pendidika.html
Pande,
R., Malhotra A., dan C. Grown. 2005. "Dampak investasi di bidang
pendidikan perempuan tentang gender Kertas kesetaraan. disajikan "di XXV
IUSSP Konferensi Kependudukan Internasional, Tours, Perancis.
DeJaeghere,
J. 2004. "Latar belakang kertas untuk workshop 1: dan pendidikan gender.
Kesetaraan Kualitas" Kertas disajikan pada Konferensi Internasional
tentang Pendidikan: Empat puluh tujuh Sesi, Jenewa.